Di atas runtuhan Melaka
Lama penyair termenung seorang diri
ingat Melayu kala jayanya
pusat kebesaran nenek bahari
Di sini dahulu laksamana Hang Tuah
satria moyang Melayu sejati
jaya perkasa gagah dan mewah
"tidak Melayu hilang di bumi"
Di sini dahulu payung berkembang
megah bendahara Seri Maharaja
bendahara cerdik tumpuan dagang
lubuk budi laut bicara
Pun banyak pula penjual negeri
mengharap emas perak bertimba
untuk keuntungan diri sendiri
biarlah bangsa menjadi hamba
Inilah sebab bangsaku jatuh
baik dahulu atau sekarang
inilah sebabnya kakinya lumpuh
menjadi budak jajahan orang
Sakitnya bangsaku bukan di luar
tapi terhunjam di dalam nyawa
walau diubat walau ditawar
semangat hancur apakan daya
Janji Tuhan sudah tajalli
mulialah umat yang teguh iman
Allah tak pernah mungkir janji
tarikh riwayat jadi pedoman
malang mujur nasibnya bangsa
turun dan naik silih berganti
terhenyak lemah naik perkasa
tergantung atas usaha sendiri
Riwayat lama tutuplah sudah
sekarang buka lembaran baru
baik hentikan termenung gundah
apalah guna lama terharu
Bangunlah kekasih ku umat Melayu
belahan asal satu turunan
bercampur darah dari dahulu
persamaan nasib jadi kenangan
Semangat yang lemah buanglah jauh
jiwa yang kecil segera besarkan
yakin percaya iman pun teguh
zaman hadapan penuh harapan
Puisi yang ditulis Buya HAMKA pada tanggal 13 – November 1957 setelah mendengar uraian pidato Natsir yang dengan tegas menawarkan agar menjadikan Islam sebagai dasar negara Republik Indonesia.
Lama penyair termenung seorang diri
ingat Melayu kala jayanya
pusat kebesaran nenek bahari
Di sini dahulu laksamana Hang Tuah
satria moyang Melayu sejati
jaya perkasa gagah dan mewah
"tidak Melayu hilang di bumi"
Di sini dahulu payung berkembang
megah bendahara Seri Maharaja
bendahara cerdik tumpuan dagang
lubuk budi laut bicara
Pun banyak pula penjual negeri
mengharap emas perak bertimba
untuk keuntungan diri sendiri
biarlah bangsa menjadi hamba
Inilah sebab bangsaku jatuh
baik dahulu atau sekarang
inilah sebabnya kakinya lumpuh
menjadi budak jajahan orang
Sakitnya bangsaku bukan di luar
tapi terhunjam di dalam nyawa
walau diubat walau ditawar
semangat hancur apakan daya
Janji Tuhan sudah tajalli
mulialah umat yang teguh iman
Allah tak pernah mungkir janji
tarikh riwayat jadi pedoman
malang mujur nasibnya bangsa
turun dan naik silih berganti
terhenyak lemah naik perkasa
tergantung atas usaha sendiri
Riwayat lama tutuplah sudah
sekarang buka lembaran baru
baik hentikan termenung gundah
apalah guna lama terharu
Bangunlah kekasih ku umat Melayu
belahan asal satu turunan
bercampur darah dari dahulu
persamaan nasib jadi kenangan
Semangat yang lemah buanglah jauh
jiwa yang kecil segera besarkan
yakin percaya iman pun teguh
zaman hadapan penuh harapan
Puisi yang ditulis Buya HAMKA pada tanggal 13 – November 1957 setelah mendengar uraian pidato Natsir yang dengan tegas menawarkan agar menjadikan Islam sebagai dasar negara Republik Indonesia.
Kepada saudaraku M. Natsir [by : HAMKA]
Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau katakan benar
Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan diatas persada nusa
Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi
Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu Kemana lagi,
Natsir kemana kita
lagi Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama – sama
Untuk menuntut Ridha Ilahi
Dan aku pun masukkan Dalam daftarmu !!
Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau katakan benar
Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan diatas persada nusa
Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi
Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu Kemana lagi,
Natsir kemana kita
lagi Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama – sama
Untuk menuntut Ridha Ilahi
Dan aku pun masukkan Dalam daftarmu !!