_

_

Selasa, 10 Juli 2012

Nasehat Buya Hamka untuk Penulis Pemula

Satu hal yang tidak pernah H Ridwan Saidi Tokoh Masyarakat Betawi lupakan adalah ketika pada satu hari ulama besar itu memanggilnya. Buya Hamka sebelumnya telah membaca tulisan nya yang dimuat di surat kabar lokal. ” Kamu pintar menulis, tapi kamu punya tulisan belum ada tuahnya.” Dari nasihat itu, Ridwan yang saat ini sering muncul di acara dialog salah satu stasiun TV itu menangkap bahwa Buya menghendakinya untuk menulis dengan hati nurani dan kritis menangkap persoalan di tengah masyarakat. 

 Rasanya malu sekali diri ini ditengah keributan mempertentangkan sastra di kompasiana, ketika menyaksikan peng anugerah an gelar Pahlawan Nasional untuk Buya Hamka. Kita belum begitu memahami seluk beluk menulis dengan benar tetapi telah bertengkar tak tentu arah. Nasehat Buya sangat tepat sekali, tuah atau roh tulisan itulah yang belum kita dapat. Sebagai penulis pemula pantaslah rasa penuh hormat disampaikan kepada Sastrawan Indonesia yang telah menulis begitu banyak karya sastra yang menjadi bacaan wajib pecinta sastra. Ya, Alhamdulillah akhirnya Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Prof Dr Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) (Alm) Tokoh Pejuang dari Sumatera Barat sebagai Pahlawan Nasional. 

Seperti banyak ditulis di media, Buya Hamka adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis yang karyanya telah memperkaya khasanah pemikiran Indonesia. Karya sastra pria kelahiran Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 itu telah diangkat ke layar lebar. Yakni, novel “Di Bawah Lindungan Kabah” yang ditulisnya pada 1936. Buya Hamka wafat di Jakarta pada 24 Juli 1981, meninggalkan 11 anak. Buya Hamka juga telah menulis novel Tenggelamnya Kapal van der Wijk, Si Sabariah, Dijemput Mamaknya, Merantau ke Deli, dan kumpulan cerpen Di Dalam Lembah Kehidupan. Diantara buku tersebut, terakhir saya menemukan buku Di dalam lembah kehidupan ditengah buku buku bekas, sungguh sangat menyedihkan. Buya Hamka adalah seorang ulama dan ia pengarang. Novel novel lebih banyak ditulis ketika masih berusia muda. Setelah itu Beliau kosentrasi di pembinaan umat, namun ditengah kesibukannya Buya Hanya tetap menulis. 

 Karya momumental beliau adalah, ketika menulis Tafsir Al Qur’an 30 Juz, yang diberinya judul dengan nama masjid yang di imaminya dan dicintainya, Tafsir Al Azhar. Saya dapat membayangkan ditengah keterbatasan fasilitas tulis menulis di zaman nya, Buya tetap produktif melahirkan karya sastra gemilang. Hanya bermodalkan mesin ketik biasa beliau gigih melampiaskan rasa hati nya, sungguh sangat luar biasa dan mengagumkan. Mungkin seandainya Buya dilahirkan sezaman dengan kita dengan fasilitas komputer, internet, fotocopy, email dan segala macam teknologi termodern, entah berapa banyak lagi karya sastra yang bisa Buya lahirkan. Nah, penulis di zaman teknologi modern saat ini, mungkin yang diperlukan adalah mengumpulkan simpul simpul semangat dalam menulis. 

Kemudian dengan ” sepenuh hati ” menuangkan inspirasi hasil olah pikirnya untuk menghasilkan karya karya yang memiliki ruh seperti yang di nasehatkan Buya Hamka. Kemudahan teknologi hanya berisyarat instan ketika menyajikan (posting) tulisan, namun sejujurnyan tulisan itu sejatinya telah melalui proses panjang sebelum menekan tuts publish. Tulisan adalah gambaran sebenarnya dari kepribdian seseorang, siapa yang mau kepribadiannya di nilai tidak elok oleh para penggemar sastra, katanya. Sumber : http://sejarah.kompasiana.com/2011/11/08/nasehat-buya-hamka-untuk-penulis-pemula/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar