_

_

Selasa, 10 Juli 2012

Hujjatul Islam: Buya Hamka, Ulama Besar dan Penulis Andal

REPUBLIKA.CO.ID, Ia adalah salah satu anak bangsa yang kiprahnya tidak hanya dikenal luas di wilayah Nusantara, namun juga hingga ke negeri-negeri tetangga.

Hamka, demikian orang-orang memanggil sosok ulama terkenal, penulis produktif, dan mubaligh besar yang berpengaruh di kawasan Asia ini.

Nama sebenarnya adalah Abdul Malik Karim Amrullah. Sesudah menunaikan ibadah haji pada 1927, namanya mendapat tambahan 'Haji' sehingga menjadi Haji Abdul Malik Karim Amrullah, disingkat Hamka.

Ensiklopedi Islam menyebutkan tokoh kelahiran Maninjau, Sumatra Barat, 16 Februari 1908 ini hanya sempat masuk sekolah desa selama tiga tahun dan sekolah-sekolah agama di Padangpanjang dan Parabek (dekat Bukittinggi) kira-kira tiga tahun.

Namun bakat yang dimilikinya dalam bidang bahasa, membuat Hamka dengan cepat bisa menguasai bahasa Arab, dan ini mengantarkannya mampu membaca secara luas literatur Arab, termasuk terjemahan dari tulisan-tulisan Barat.

Sebagai seorang anak tokoh pergerakan, sejak kanak-kanak Hamka sudah menyaksikan dan mendengar langsung pembicaraan tentang pembaharuan dan gerakannya melalui ayah dan rekan-rekan ayahnya. Ayah Hamka adalah H Abdul Karim Amrullah, seorang tokoh pelopor gerakan Islam 'Kaum Muda' di Minangkabau.

Sejak usia muda, Hamka sudah dikenal sebagai seorang pengelana. Sang ayah bahkan menjulukinya 'Si Bujang Jauh'. Pada tahun 1942, dalam usia 16 tahun, ia pergi ke Jawa untuk menimba pelajaran tentang gerakan Islam modern melalui H Oemar Said Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhruddin yang mengadakan kursus-kursus pergerakan di Gedung Abdi Dharmo di Pakualaman, Yogyakarta.

Setelah beberapa lama menetap di Yogyakarta, ia berangkat ke Pekalongan dan menemui kakak iparnya, AR Sutan Mansur, yang waktu itu menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan. Di kota ini ia berkenalan dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah setempat.

Pada bulan Juli ia kembali ke Padangpanjang dan turut mendirikan Tablig Muhammadiyah di rumah ayahnya di Gatangan, Padangpanjang. Sejak itulah ia mulai berkiprah dalam organisasi Muhammadiyah.

Pada bulan Februari 1927, ia berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana lebih kurang enam bulan. Selama di Makkah, ia bekerja pada sebuah percetakan. Pada bulan Juli, ia memutuskan kembali ke Tanah Air dengan tujuan Medan dan menjadi guru agama pada sebuah perkebunan selama beberapa bulan. Pada akhir tahun 1927, ia kembali ke kampung halamannya.

REPUBLIKA.CO.ID, Pada tahun 1928, untuk kali pertama ia terlibat langsung dalam kegiatan Muhammadiyah dengan menjadi peserta muktamar di Solo, dan sejak itu Hamka hampir tidak pernah absen dalam Muktamar Muhammadiyah hingga akhir hayatnya.

Sepulang dari Solo, ia mulai memangku beberapa jabatan, mulai dari ketua bagian Taman Pustaka, kemudian Ketua Tabligh, sampai menjadi Ketua Muhammadiyah cabang Padangpanjang.

Pada tahun 1930, ia diutus oleh Pengurus Cabang Padangpanjang untuk mendirikan Muhammadiyah di Bengkalis. Pada tahun 1931, ia diutus oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah ke Makassar untuk menjadi mubalig Muhammadiyah dalam rangka menggerakkan semangat untuk menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-21 pada bulan Mei 1932 di Makassar.

Pada tahun 1934, ia kembali ke Padangpanjang dan diangkat menjadi Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah. Di awal tahun 1936, Hamka pindah ke Medan dan terjun dalam gerakan Muhammadiyah Sumatra Timur. Di kota ini, ia memimpin majalah Pedoman Masyarakat.

Pada tahun 1942 ia terpilih menjadi pimpinan Muhammadiyah Sumatera Timur dan baru tahun 1945 meletakkan jabatan itu karena pindah ke Sumatera Barat. Sejak 1946, ia terpilih menjadi Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Daerah Sumatra Barat. Kedudukan ini dipegangnya sampai 1949.

Pada Muktamar Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto pada 1953, ia terpilih menjadi anggota pimpinan pusat Muhammadiyah dan sejak itu selalu terpilih dalam muktamar.

Baru pada Muktamar Muhammadiyah tahun 1971 di Makassar, karena faktor usia, ia memohon agar tidak dipilih kembali. Tetapi, sejak itu pula ia diangkat menjadi penasihat pimpinan pusat Muhammadiyah sampai akhir hayatnya. Ia meninggal di Jakarta pada tanggal 24 Juli 1981.

Aktif menulis
Nama Hamka juga dikenal luas berkat karya-karyanya. Kecintaannya terhadap dunia menulis ini dimulai ketika ia memutuskan untuk memasuki dunia jurnalisme pada akhir tahun 1925.

Saat itu ia mengirim artikel ke harian Hindia Baru, yang dieditori oleh Haji Agus Salim, seorang pemimpin politik Islam. Sekembalinya ke Padangpanjang, Hamka mendirikan jurnal Muhammadiyah pertama, Chatibul Ummah.

Sejak saat itu, dia mulai rajin menulis karya-karya sastra. Bukunya yang pertama merupakan sebuah novel Minangkabau berjudul 'Si Sabariah', terbit pada tahun 1925. Dia secara teratur mengirimkan artikel ke jurnal-jurnal lokal dan menerbitkan buku kecil mengenai adat Minangkabau dan sejarah Islam.

Pada 1936, dia menerima tawaran menjadi editor kepala pada sebuah jurnal Islam baru di Medan, Pedoman Masyarakat. Ketika dia menjabat sebagai editor, jurnal ini menjadi salah satu yang paling sukses dalam sejarah jurnalisme Islam di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, Bagi kehidupan Hamka, masa-masa ketika tinggal di Medan (1936-1945) merupakan tahun-tahun paling produktif.

Selama periode ini dia menulis dan mempublikasikan sebagian besar novelnya. Di antaranya Di Bawah Lindungan Ka'bah (1936), Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1937), Merantau ke Deli (1940), dan Di Dalam Lembah Kehidupan (1940).

Dia juga menulis buku-buku mengenai etika Islam dan tasawuf, seperti Tasawuf Modern (1939), Lembaga Budi (1939), dan Falsafah Hidup (1940).

Pada tahun 1949, ia menerbitkan biografi orang tuanya dengan judul Ayahku, yang juga memaparkan sejarah gerakan Islam di Sumatera, disamping memoar empat jilid berjudul Kenang-Kenangan Hidup dan jilid pertama Sejarah Umat Islam.

Pada tahun 1950, ketika ia mengadakan lawatan ke beberapa negara Arab sesudah menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya. Dalam kesempatan ini ia bertemu dengan pengarang-pengarang Mesir yang telah lama dikenalnya lewat karya-karya mereka, seperti Taha Husein dan Fikri Abadah. Sepulang dari lawatan ini ia mengarang beberapa buku roman, yaitu Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah.

Bersama dengan KH Fakih Usman (Menteri Agama dalam Kabinet Wilopo 1952), pada bulan Juli 1959, ia menerbitkan majalah tengah bulanan Panji Masyarakat. Majalah ini menitikberatkan soal-soal kebudayaan dan pengetahuan agama Islam.

Majalah ini kemudian dibreidel pada 17 Agustus 1960 dengan alasan memuat karangan Dr Muhammad Hatta berjudul 'Demokrasi Kita', yang isinya mengkritik tajam konsep Demokrasi Terpimpin. Majalah ini baru terbit kembali setelah Orde Lama tumbang, tepatnya pada tahun 1967. Hamka sendiri dipercaya sebagai pimpinan umum majalah Panji Masyarakat hingga akhir hayatnya.

Hobi menulisnya ini tetap ditekuninya manakala ia berada di balik terali besi penjara. Pada tanggal 27 Januari 1964, Hamka ditangkap oleh pemerintahan Soekarno. Dalam tahanan Orde Lama ini ia menyelesaikan kitab Tafsir Al-Azhar (30 Juz). Ia keluar dari tahanan setelah Orde Lama tumbang.

Hamka meninggalkan karya yang sangat banyak; di antaranya yang sudah dibukukan tercatat lebih kurang 118 buku, belum termasuk karangan-karangan panjang dan pendek yang dimuat di berbagai media massa dan disampaikan dalam beberapa kesempatan kuliah atau ceramah ilmiah. Tulisan-tulisan itu meliputi banyak bidang kajian, seperti politik, sejarah, budaya, akhlak, dan ilmu-ilmu keislaman.

REPUBLIKA.CO.ID, Semasa hidupnya, Hamka dikenal sebagai sosok yang memiliki pendirian yang tegas, terutama dalam memperjuangkan dakwah Islam. Sikap tegasnya ini juga ditunjukkannya manakala pada tahun 1975 ia diberi kepercayaan untuk duduk sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Fatwa Haram yang Menuai Kecaman
Berbagai pihak waktu itu sempat sangsi terhadap Hamka. Bila jabatan tersebut diterimanya, maka dikhawatirkan ia tidak akan mampu menghadapi intervensi kebijakan pemerintah Orde Baru kepada umat Islam saat itu.

Namun, Hamka menepis keraguan itu dengan mengambil langkah memindahkan kantor pusat kegiatan MUI dari Masjid Istiqlal ke Masjid Al-Azhar. Langkah ini ditempuh Hamka untuk mendorong MUI menjadi lembaga yang independen.

Usaha Hamka untuk membuat independen lembaga MUI mulai terasa ketika pada awal 1980 lembaga ini berani melawan arus dengan mengeluarkan fatwa mengenai persoalan perayaan Natal bersama. Saat itu, Hamka menyatakan haram bila ada umat Islam mengikuti perayaan keagamaan itu.

Keberadaan fatwa tersebut kontan saja membuat geger publik. Terlebih lagi pada waktu itu arus kebijakan pemerintah tengah mendengungkan isu toleransi. Berbagai instansi waktu itu ramai mengadakan perayaan Natal bersama. Bila ada orang Islam yang tidak bersedia ikut merayakan natal, maka mereka dianggap kaum fundamentalis dan anti-Pancasila.

Keadaan itu kemudian memaksa MUI mengeluarkan fatwa. Risikonya Hamka pun mendapat kecaman. MUI ditekan dengan gencarnya melalui berbagai pendapat di media massa yang menyatakan bahwa fatwa tersebut akan mengancam persatuan negara. Melalui sebuah tulisan yang dimuat di Majalah Panjimas, Hamka berupaya mempertahankan fatwa haram merayakan Natal bersama bagi umat Islam yang dikeluarkannya.

Hamka yang waktu itu tetap berpendirian teguh tidak akan mencabut fatwa Natal tersebut, akhirnya memilih untuk meletakkan jabatannya setelah ada desakan dari pemerintah. Ia mundur dari MUI pada 21 Mei 1981. Tak lama kemudian, beliau meninggal dunia, tepatnya pada tanggal 24 Juli 1981.

Oleh sejumlah kalangan, sikap tegas Hamka ketika memimpin MUI merupakan cerminan dari pribadinya. Bahkan, banyak pihak yang mengatakan sepeninggal Hamka, Fatwa MUI terasa menjadi tidak lagi menggigit. Bahkan di masa Orde Baru, posisi lembaga ini terkesan hanya sebagai tukang stempel kebijakan pemerintah terhadap umat Islam belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar