_

_

Rabu, 11 Juli 2012

Sajak

Di atas runtuhan Melaka
Lama penyair termenung seorang diri
ingat Melayu kala jayanya
pusat kebesaran nenek bahari

Di sini dahulu laksamana Hang Tuah
satria moyang Melayu sejati
jaya perkasa gagah dan mewah
"tidak Melayu hilang di bumi"

Di sini dahulu payung berkembang
megah bendahara Seri Maharaja
bendahara cerdik tumpuan dagang
lubuk budi laut bicara

Pun banyak pula penjual negeri
mengharap emas perak bertimba
untuk keuntungan diri sendiri
biarlah bangsa menjadi hamba

Inilah sebab bangsaku jatuh
baik dahulu atau sekarang
inilah sebabnya kakinya lumpuh
menjadi budak jajahan orang

Sakitnya bangsaku bukan di luar
tapi terhunjam di dalam nyawa
walau diubat walau ditawar
semangat hancur apakan daya

Janji Tuhan sudah tajalli
mulialah umat yang teguh iman
Allah tak pernah mungkir janji
tarikh riwayat jadi pedoman

malang mujur nasibnya bangsa
turun dan naik silih berganti
terhenyak lemah naik perkasa
tergantung atas usaha sendiri

Riwayat lama tutuplah sudah
sekarang buka lembaran baru
baik hentikan termenung gundah
apalah guna lama terharu

Bangunlah kekasih ku umat Melayu
belahan asal satu turunan
bercampur darah dari dahulu
persamaan nasib jadi kenangan

Semangat yang lemah buanglah jauh
jiwa yang kecil segera besarkan
yakin percaya iman pun teguh
zaman hadapan penuh harapan

Puisi yang ditulis Buya HAMKA pada tanggal 13 – November 1957 setelah mendengar uraian pidato Natsir yang dengan tegas  menawarkan agar menjadikan Islam sebagai dasar negara Republik Indonesia.

Kepada saudaraku M. Natsir [by : HAMKA]

Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau katakan benar
Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan diatas persada nusa
Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi
Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu Kemana lagi,
Natsir kemana kita
lagi Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama – sama
Untuk menuntut Ridha Ilahi
Dan aku pun masukkan Dalam daftarmu !!

Selasa, 10 Juli 2012

Buya Hamka Jadi Pahlawan Nasional

Kita bangga dan bersyukur, berdasarkan Keputusan Pre­siden Nomor 113 TK 2011 Pemerintah Republik Indo­nesia meng­anugerahkan gelar pahlawan nasional kepada tujuh tokoh bangsa yang telah berjuang demi kepentingan negara. Salah-satu tokoh bangsa tersebut yakni Buya Hamka atau na­ma lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah dari Sumatera Barat. Sebelumnya, upaya pengusulan Buya Hamka menjadi pahlawan nasional telah dilakukan dalam berbagai upaya seperti melakukan pengkajian, seminar dan lainnya baik oleh per­guruan tinggi maupun pemerintah daerah sendiri. Kini, upaya tersebut  telah berbuah hasil.
Melekatkan Buya Hamka jadi pahlawan nasional, sebetulnya dari dulu sudah jadi kaharusan. Kenapa tidak dia tidak saja dikenal sebagai seorang ulama, namun juga seorang aktivis, politis, jurnalis, editor dan sastrawan. Pengabdian dan pengorbanan buat bangsa dan negara ini tidak terhitung lagi.
Buya Hamka (1908-1981) sendiri  lahir pada 17 Februari 1908 di Sungai Batang, Maninjau, Sumatera Barat. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau dan ibunya bernama Siti Shafiyah Tanjung binti Haji Zakaria. Di zamannya, Buya Hamka merupakan sosok intelektual yang modernis dan produktif. Pro­duktifitasnya terlihat dari karyanya yang ditulis dalam berbagai disiplin ilmu, baik di majalah, surat kabar, maupun dalam bentuk buku. Orien­tasi kajian produktifitasnya berkisar pada persoalan-persoalan kea­ga­maan dan sosial kemasyarakatan, seperti bidang tafsir, teologi, sastra fiqih, sejarah Islam, dan pendidikan. Karena kekuatan produktifitasnya tersebut berbagai penghargaan ia dapatkan yaitu Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Cairo tahun 1958, Doctor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia tahun 1958, dan lainnya.
Disigi dari kegiatan politik Buya Hamka, bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Pada masa inilah pemi­kiran Buya Hamka sering bergesekan dengan mainstream politik ketika itu. Perjalanan politiknya bisa dikatakan berakhir ketika Konstituante dibu­barkan melalui Dekrit Presiden Soekarno pada 1959. Masyumi kemu­dian “diharamkan” oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960.
Deraan derita juga dirasakan oleh Buya Hamka karena idealisme yang dirangkaikan dengan kekuatan pe­mikiran dan perbuatannya. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Buya Hamka dipenjarakan oleh Presiden Soekarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakan, beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Ke­bajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan ang­gota Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia. Pada tahun 1978, Buya Hamka lagi-lagi berbeda panda­ngan dengan pemerintah. Pemicunya adalah keputusan Menteri Pen­didikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadan, yang sebelumnya sudah menjadi kebia­saan.
Buya Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Tahun 1975, Hamka diberi kepercayaan untuk duduk sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Hamka berusaha untuk membuat independen lembaga MUI menjadi terasa sangat kental ketika pada awal dekade 80-an, lembaga ini ‘berani melawan arus’ dengan mengeluarkan fatwa menge­nai persoalan perayaan Natal ber­sama. Buya Hamka menyatakan ‘haram’ bila ada umat Islam mengikuti perayaan keagamaan itu.
Risikonya Buya Hamka pun men­dapat kecaman. MUI ditekan dengan gencarnya melalui berbagai pen­dapat di media massa yang menya­takan bahwa keputusannya itu akan mengancam persatuan negara. Buya Hamka yang waktu itu berada dalam posisi sulit, antara mencabut dan meneruskan fatwa itu, akhirnya kemudian memutuskan untuk mele­takkan jabatannya. Ia mundur dari MUI pada 21 Mei 1981. Sebuah ben­tuk keidealismean seorang Hamka.
Selain aktif dalam soal keaga­maan dan politik, Buya Hamka merupakan seorang wartawan, pe­nulis, editor dan penerbit. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar dan novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Teng­gelamnya Kapal Van Der Wijck, di Bawah Lindungan Kabah dan Mer­ntau ke Deli.
Sebetulnya sudah lama Buya Hamka harus dilekatkan dengan pahlawan nasional tersebut. Ada beberapa hal yang menyebabkan Buya Hamka tak kunjung jua menjadi pahlawan nasional. Pertama, terjadi penyempitan dalam pendefinisian pahlawan itu sendiri serta terjadi penyempitan peluang tokoh sipil untuk diangkat menjadi pahlawan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indo­nesia (1997) pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran ; pejuang yang gagah berani. Secara prinsip setiap bangsa membutuhkan pahlawan. Kemudian dalam Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 1964. Pahlawan adalah a) warga negara Republik Indonesia yang gugur dalam per­juangan-yang bermutu-dalam mem­bela dan negara, b) warganegara Republik Indonesia yang berjasa membela bangsa dan negara yang dalam riwayat hidupnya selanjutnya tidak ternoda oleh suatu perbuatan yang membuat cacat nilai  per­juangannya. Kriteria pertama me­ngacu kepada militer, sedangkan yang kedua kepada kalangan sipil. Peluang militer lebih banyak untuk menjadi pahlawan seperti diberikan oleh kriteria di atas. Sedangkan untuk sipil masih diganjal dengan ketentuan “tidak ternoda”-yang tampaknya ditujukan kepada seorang tokoh.
Kedua, sejarah senantiasa ber­proses dan bukan sebagai suatu hal yang sudah selesai, sehingga ada kecenderungan munculnya fakta-fakta dan interpretasi-interpretasi yang berbeda tentang suatu peristiwa sejarah dan tokoh. Begitu juga dengan perihal Buya Hamka tersebut terjadi perbedaan pandangan ten­tang suatu peristiwa atau tokoh dikalangan sejarawan, pemerintah dan masyarakat yang dilandasi per­be­­daan perolehan sumber sampai dengan masalah interpretasi yang berbeda.
Ketiga, historiografi yang bersifat Jawasentris yang ada selama ini khususnya masa Orde Baru. Sebuah corak penulisan sejarah yang “ber­kiblat” kepada Jawa. Jawa dianggap sentral dalam penulisan sejarah. Sehingga dengan hal tersebut telah memungkinkan tokoh-tokoh yang lahir di Jawa dibesar-besarkan se­dang­kan diluar Jawa merasa ter­pinggirkan.
Buya Hamka sudah jadi pahlawan nasional, sekarang ada tokoh bangsa yang harus dilekatkan menjadi pah­lawan nasional seperti Sultan Alam Bagagarsyah, dan lainnya. Walaupun keinginan kearah itu sudah dila­kukan, seperti pengkajian dan semi­nar atas Sultan Alam Bagagarsyah tersebut. Namun upaya tersebut belum jua berbuahkan hasil. Muda­han dengan kerjasama dan kekuatan yang kita miliki upaya tersebut nantinya berbuah hasil. Seperti upaya yang kita lakukan untuk manjadikan Buya Hamka sebagai pahlawan nasional. Wassallam.

Sumber :  http://harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=10028:buya-hamka-jadi-pahlawan-nasional-&catid=12:refleksi&Itemid=82

Cukup Allah sebagai Pelindung: Kisah Hamka di Penjara Sukabumi

Oleh Prof Dr Yunahar Ilyas
Setelah Pemilihan Umum Pertama (1955), Hamka terpilih menjadi anggota Dewan Konstituante dari Masyumi mewakili Jawa Tengah. Setelah Konstituante dan Masyumi dibubarkan, Hamka memusatkan kegiatannya pada dakwah Islamiah dan memimpin jamaah Masjid Agung Al-Azhar, di samping tetap aktif di Muhammadiyah. Dari ceramah-ceramah di Masjid Agung itu lah lahir sebagian dari karya monumental Hamka, Tafsir Al-Azhar.

Zaman demokrasi terpimpin, Hamka pernah ditahan dengan tuduhan melanggar Penpres Anti-Subversif. Dia berada di tahanan Orde Lama itu selama dua tahun (1964-1966). Dalam tahanan itulah Hamka menyelesaikan penulisan Tafsir Al-Azhar.

Waktu menulis Tafsir Al-Azhar, Hamka memasukkan beberapa pengalamannya saat berada di tahanan. Salah satunya berhubungan de ngan ayat 36 Surah az-Zumar, “Bukan kah Allah cukup sebagai Pelindung hamba-Nya...”. Pangkal ayat ini menjadi perisai bagi hamba Allah yang beriman dan Allah jadi pelindung sejati.

Sehubungan dengan maksud ayat di atas, Hamka menceritakan pengalaman beliau dalam tahanan di Sukabumi, akhir Maret 1964. Berikut kutipan lengkapnya. “Inspektur polisi yang memeriksa sambil memaksa agar saya mengakui suatu kesalahan yang difitnahkan ke atas diri, padahal saya tidak pernah berbuatnya. Inspektur itu masuk kembali ke dalam bilik tahanan saya membawa sebuah bungkusan, yang saya pandang sepintas lalu saya menyangka bahwa itu adalah sebuah tape recorder buat menyadap pengakuan saya.”

“Dia masuk dengan muka garang sebagai kebiasaan selama ini. Dan, saya menunggu dengan penuh tawakal kepada Tuhan dan memohon kekuatan kepada-Nya semata-mata. Setelah mata yang garang itu melihat saya dan saya sambut dengan sikap tenang pula, tiba-tiba kegarangan itu mulai menurun.”

“Setelah menanyakan apakah saya sudah makan malam, apakah saya sudah sembahyang, dan pertanyaan lain tentang penyelenggaraan makan minum saya, tiba-tiba dilihatnya arlojinya dan dia berkata, Biar besok saja dilanjutkan pertanyaan. Saudara istirahatlah dahulu malam ini, ujarnya dan dia pun keluar membawa bungkusan itu kembali.

Setelah dia agak jauh, masuklah polisi muda (agen polisi) yang ditugaskan menjaga saya, yang usianya baru kira-kira 25 tahun. Dia melihat terlebih dahulu kiri kanan. Setelah jelas tidak ada orang yang melihat, dia bersalam dengan saya sambil menangis, diciumnya tangan saya, lalu dia berkata, Alhamdulillah bapak selamat! Alhamdulillah! Mengapa, tanya saya. Bungkusan yang dibawa oleh Inspektur M itu adalah setrum. Kalau dikontakkan ke badan bapak, bapak bisa pingsan dan kalau sampai maksimum bisa mati.

Demikian jawaban polisi muda yang ditugaskan menjaga saya itu dengan berlinang air mata. Bapak sangka tape recorder, jawabku sedikit tersirap, tetapi saya bertambah ingat kepada Tuhan. Moga-moga Allah memelihara diri Bapak. Ah! Bapak orang baik, kata anak itu.

Dalam menghadapi paksaan, hinaan, dan hardikan di dalam tahanan, Hamka selalu berserah diri kepada Allah SWT. Termasuk ketika Inspektur M datang membawa bungkusan malam itu, Hamka tetap dengan pendirian. Bukankah Allah cukup sebagai pelindung hamba-Nya.
Redaktur: Siwi Tri Puji B

Sumber : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/11/25/lv86ue-cukup-allah-sebagai-pelindung-kisah-hamka-di-penjara-sukabumi

Buya HAMKA, Ulama Sejati yang Berdakwah dengan Hati

Saya tak ingat lagi di tahun berapa ketika setiap pagi seusai subuh  Buya Hamka berdakwah lewat Radio Republik Indonesia . Saya dan ayah anak2 ku selalu mendengarkan bersama-sama sambil minum kopi. Saya rajin membeli kaset2 beliau yang  di jaman itu belum ada CD.

Entah mengapa akhir2 ini saya begitu  rindu  mendengar ceramah2 beliau yang menyejukan hati.  Ketika  di mana mana saya melihat manusia yang mengaku muslim berdakwah dengan kekerasan, padahal Buya mengajarkan bahwa beragama tak boleh kasar, belum sempurna iman seseorang sebelum dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.

Alhamdulilah saya temukan ceramah2 Buya dari berbagai media online, lalu saya simpan di HP. Dimana saja ketika saya sendiri, saya selalu mendengarkan ceramah2 beliau yang begitu sejuk dan menujam kedalam hati.

Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) demikian nama lengkap ulama besar yang terkenal dengan nama  Buya Hamka yang meninggal pada tanggal 24 July 1981 dalam usia 73 tahun. Beliau seorang otodidak dalam berbagai ilmu filsafat, sastra , sejarah, sosiologi dan politik , baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arab yang tinggi beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak,  Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang andal. (sumber : Wikipedia Indonesia)

Dalam ceramah beliau yang berjudul ” Bersyukur” kita di ajarkan agar bersyukur ketika mendapat nikmat, bersabar ketika mendapat cobaan.  Selalu mengeluh akan menimbulkan penyakit pada jiwa dan raga. Syukur dan sabar bagai dua sayap , yang kanan sayap syukur dan yg kiri sayap sabar.  Jika patah salah satu maka kita akan jatuh. ( Duh Buya betapa sulit  mencari ulama sejati seperti Buya Hamka…)

Saya pernah membaca buku berjudul ” Opening The Door of Your Heart”  karangan Ajhan Brahm seorang biksu asal Inggris yang kini bermukim di Perth. Ada kisah  tentang rasa syukur, ketika suatu masa  ia  sedang membangun rumah .  Bata2  tersusun indah hampir 100 banyaknya dan ia melihat ada 1 bata letaknya tak sesuai. Saat itu ia sangat kesal dan ingin menghancurkan seluruh bata yang telah tersusun itu, namun seseorang berkata. ” Mengapa kamu marah pada 1 bata ketika 99 bata tersusun begitu indah.” .

Ternyata kisah tentang rasa syukur sudah di ceritakan oleh Alm. Buya Hamka bertahun-tahun sebelumnya, yaitu ketika seseorang mengeluh  pada beliau tentang 2 rumah kontrakannya yang rusak padahal ia memiliki 30 rumah kontrakan. Ternyata sebagai manusia kita begitu banyak mengeluh hingga lupa pada karunia berlimpah yang Allah berikan untuk kita.

Lalu Buya juga mengingatkan bahwa jika mata sudah kabur, uban sudah bertabur, gigi sudah gugur dan kulit sudah kendur, maka yang ke 5 adalah pintu kubur. Kita di ajarkan berdoa agar di jauhkan dari nafsu yang tak pernah kenyang, hati yang tak pernah khusu’, ilmu yang tak bermanfaat dan doa yang tak di dengar.

Salah seorang bernama Abdul Rahman (syahwiza’s Channel) yang mengupload ceramah2 Buya di Youtube menulis catatan  :

” Guruku yang aku belum pernah bersua dengannya melainkan hanya dari siaran RRI Jakarta, kaset-kaset, dan kitab-kitab tulisannya. Semoga Allah SWT mempertemukan aku dengannya kelak di akhirat dalam syurga. Amin.”

Buya selalu ada di hatiku , dan kata2 bijakmu kan kuingat selalu.   Semoga kita semua dapat menjalankan apa yang beliau sampaikan.Amin.

BUYA HAMKA, ULAMA SEJATI YANG BERDAKWAH DENGAN HATI.

Sumber : http://sosok.kompasiana.com/2011/08/21/buya-hamka-ulama-sejati-yang-berdakwah-dengan-hati/