tag:blogger.com,1999:blog-58226105048594494852024-02-18T20:11:09.383-08:00Buya HamkaManghimpun nan Taserak, Mambangkik Batang TarandamAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/17475964411119059766noreply@blogger.comBlogger12125tag:blogger.com,1999:blog-5822610504859449485.post-15738057393167364122012-07-11T10:40:00.003-07:002012-07-11T10:40:25.048-07:00Sajak<div style="background-color: white; border: 1px solid rgb(204, 204, 204); font-family: Times,"Times New Roman",serif; height: 500px; overflow: auto; padding: 5px; text-align: justify; width: 500px;">
Di atas runtuhan Melaka<br />
Lama penyair termenung seorang diri<br />
ingat Melayu kala jayanya<br />
pusat kebesaran nenek bahari<br />
<br />
Di sini dahulu laksamana Hang Tuah<br />
satria moyang Melayu sejati<br />
jaya perkasa gagah dan mewah<br />
"tidak Melayu hilang di bumi"<br />
<br />
Di sini dahulu payung berkembang<br />
megah bendahara Seri Maharaja<br />
bendahara cerdik tumpuan dagang<br />
lubuk budi laut bicara<br />
<br />
Pun banyak pula penjual negeri<br />
mengharap emas perak bertimba<br />
untuk keuntungan diri sendiri<br />
biarlah bangsa menjadi hamba<br />
<br />
Inilah sebab bangsaku jatuh<br />
baik dahulu atau sekarang<br />
inilah sebabnya kakinya lumpuh<br />
menjadi budak jajahan orang<br />
<br />
Sakitnya bangsaku bukan di luar<br />
tapi terhunjam di dalam nyawa<br />
walau diubat walau ditawar<br />
semangat hancur apakan daya<br />
<br />
Janji Tuhan sudah tajalli<br />
mulialah umat yang teguh iman<br />
Allah tak pernah mungkir janji<br />
tarikh riwayat jadi pedoman<br />
<br />
malang mujur nasibnya bangsa<br />
turun dan naik silih berganti<br />
terhenyak lemah naik perkasa<br />
tergantung atas usaha sendiri<br />
<br />
Riwayat lama tutuplah sudah<br />
sekarang buka lembaran baru<br />
baik hentikan termenung gundah<br />
apalah guna lama terharu<br />
<br />
Bangunlah kekasih ku umat Melayu<br />
belahan asal satu turunan<br />
bercampur darah dari dahulu<br />
persamaan nasib jadi kenangan<br />
<br />
Semangat yang lemah buanglah jauh<br />
jiwa yang kecil segera besarkan<br />
yakin percaya iman pun teguh<br />
zaman hadapan penuh harapan<br />
<br />
Puisi yang ditulis Buya HAMKA pada tanggal 13 – November
1957 setelah mendengar uraian pidato Natsir yang dengan tegas menawarkan agar menjadikan Islam sebagai
dasar negara Republik Indonesia.<br />
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b>Kepada saudaraku M. Natsir [by : HAMKA]</b><br />
<br />
Meskipun bersilang keris di leher<br />
Berkilat pedang di hadapan matamu <br />
Namun yang benar kau katakan benar <br />
Cita Muhammad biarlah lahir <br />
Bongkar apinya sampai bertemu <br />
Hidangkan diatas persada nusa <br />
Jibril berdiri sebelah kananmu <br />
Mikail berdiri sebelah kiri <br />
Lindungan Ilahi memberimu tenaga <br />
Suka dan duka kita hadapi <br />
Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu Kemana lagi, <br />
Natsir kemana kita <br />
lagi Ini berjuta kawan sepaham <br />
Hidup dan mati bersama – sama <br />
Untuk menuntut Ridha Ilahi <br />
Dan aku pun masukkan Dalam daftarmu !!
</div>
</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17475964411119059766noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5822610504859449485.post-27142124134188121032012-07-10T22:14:00.001-07:002012-07-10T22:14:32.929-07:00Buya Hamka Jadi Pahlawan Nasional<div style="background-color: white; border: 1px solid rgb(204, 204, 204); font-family: Times,"Times New Roman",serif; height: 500px; overflow: auto; padding: 5px; text-align: justify; width: 500px;">
Kita bangga dan bersyukur, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 113
TK 2011 Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar pahlawan
nasional kepada tujuh tokoh bangsa yang telah berjuang demi kepentingan
negara. Salah-satu tokoh bangsa tersebut yakni Buya Hamka atau nama
lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah dari Sumatera Barat.
Sebelumnya, upaya pengusulan Buya Hamka menjadi pahlawan nasional telah
dilakukan dalam berbagai upaya seperti melakukan pengkajian, seminar dan
lainnya baik oleh perguruan tinggi maupun pemerintah daerah sendiri.
Kini, upaya tersebut telah berbuah hasil.
<br />
Melekatkan Buya Hamka jadi pahlawan nasional, sebetulnya dari dulu
sudah jadi kaharusan. Kenapa tidak dia tidak saja dikenal sebagai
seorang ulama, namun juga seorang aktivis, politis, jurnalis, editor dan
sastrawan. Pengabdian dan pengorbanan buat bangsa dan negara ini tidak
terhitung lagi.<br />
Buya Hamka (1908-1981) sendiri lahir pada 17 Februari 1908 di Sungai
Batang, Maninjau, Sumatera Barat. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin
Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah
(<i>tajdid</i>) di Minangkabau dan ibunya bernama Siti Shafiyah
Tanjung binti Haji Zakaria. Di zamannya, Buya Hamka merupakan sosok
intelektual yang modernis dan produktif. Produktifitasnya terlihat dari
karyanya yang ditulis dalam berbagai disiplin ilmu, baik di majalah,
surat kabar, maupun dalam bentuk buku. Orientasi kajian
produktifitasnya berkisar pada persoalan-persoalan keagamaan dan
sosial kemasyarakatan, seperti bidang tafsir, teologi, sastra fiqih,
sejarah Islam, dan pendidikan. Karena kekuatan produktifitasnya tersebut
berbagai penghargaan ia dapatkan yaitu <i>Doctor Honoris Causa</i> dari Universitas al-Azhar Cairo tahun 1958, Doctor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia tahun 1958, dan lainnya.<br />
Disigi dari kegiatan politik Buya Hamka, bermula pada tahun 1925
ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Tahun 1945,
beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia
dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Tahun 1947,
Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia.
Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi <i>pemidato</i> utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Pada masa inilah pemikiran Buya Hamka sering bergesekan dengan <i>mainstream</i>
politik ketika itu. Perjalanan politiknya bisa dikatakan berakhir
ketika Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Soekarno pada
1959. Masyumi kemudian “diharamkan” oleh pemerintah Indonesia pada
tahun 1960.<br />
Deraan derita juga dirasakan oleh Buya Hamka karena idealisme yang
dirangkaikan dengan kekuatan pemikiran dan perbuatannya. Dari tahun
1964 hingga tahun 1966, Buya Hamka dipenjarakan oleh Presiden Soekarno
karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakan, beliau mulai menulis <i>Tafsir al-Azhar</i>
yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara,
Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional,
Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota
Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia. Pada tahun 1978, Buya Hamka
lagi-lagi berbeda pandangan dengan pemerintah. Pemicunya adalah
keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk
mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadan, yang sebelumnya sudah
menjadi kebiasaan.<br />
Buya Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi
Muhammadiyah. Tahun 1975, Hamka diberi kepercayaan untuk duduk sebagai
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Hamka berusaha untuk membuat
independen lembaga MUI menjadi terasa sangat kental ketika pada awal
dekade 80-an, lembaga ini ‘berani melawan arus’ dengan mengeluarkan
fatwa mengenai persoalan perayaan Natal bersama. Buya Hamka menyatakan
‘haram’ bila ada umat Islam mengikuti perayaan keagamaan itu.<br />
Risikonya Buya Hamka pun mendapat kecaman. MUI ditekan dengan
gencarnya melalui berbagai pendapat di media massa yang menyatakan
bahwa keputusannya itu akan mengancam persatuan negara. Buya Hamka yang
waktu itu berada dalam posisi sulit, antara mencabut dan meneruskan
fatwa itu, akhirnya kemudian memutuskan untuk meletakkan jabatannya. Ia
mundur dari MUI pada 21 Mei 1981. Sebuah bentuk keidealismean seorang
Hamka.<br />
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Buya Hamka merupakan
seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Karya ilmiah
terbesarnya ialah <i>Tafsir al-Azhar </i>dan novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah <i>Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, di Bawah Lindungan Kabah </i>dan<i> Merntau ke Deli</i>.<br />
Sebetulnya sudah lama Buya Hamka harus dilekatkan dengan pahlawan
nasional tersebut. Ada beberapa hal yang menyebabkan Buya Hamka tak
kunjung jua menjadi pahlawan nasional. <i>Pertama</i>, terjadi
penyempitan dalam pendefinisian pahlawan itu sendiri serta terjadi
penyempitan peluang tokoh sipil untuk diangkat menjadi pahlawan. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) pahlawan adalah orang yang
menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran ;
pejuang yang gagah berani. Secara prinsip setiap bangsa membutuhkan
pahlawan. Kemudian dalam Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 1964.
Pahlawan adalah a) warga negara Republik Indonesia yang gugur dalam
perjuangan-yang bermutu-dalam membela dan negara, b) warganegara
Republik Indonesia yang berjasa membela bangsa dan negara yang dalam
riwayat hidupnya selanjutnya tidak ternoda oleh suatu perbuatan yang
membuat cacat nilai perjuangannya. Kriteria pertama mengacu kepada
militer, sedangkan yang kedua kepada kalangan sipil. Peluang militer
lebih banyak untuk menjadi pahlawan seperti diberikan oleh kriteria di
atas. Sedangkan untuk sipil masih diganjal dengan ketentuan “tidak
ternoda”-yang tampaknya ditujukan kepada seorang tokoh.<br />
<i>Kedua</i>, sejarah senantiasa berproses dan bukan sebagai suatu
hal yang sudah selesai, sehingga ada kecenderungan munculnya
fakta-fakta dan interpretasi-interpretasi yang berbeda tentang suatu
peristiwa sejarah dan tokoh. Begitu juga dengan perihal Buya Hamka
tersebut terjadi perbedaan pandangan tentang suatu peristiwa atau tokoh
dikalangan sejarawan, pemerintah dan masyarakat yang dilandasi
perbedaan perolehan sumber sampai dengan masalah interpretasi yang
berbeda.<br />
<i>Ketiga</i>, historiografi yang bersifat <i>Jawasentris </i>yang
ada selama ini khususnya masa Orde Baru. Sebuah corak penulisan sejarah
yang “berkiblat” kepada Jawa. Jawa dianggap sentral dalam penulisan
sejarah. Sehingga dengan hal tersebut telah memungkinkan tokoh-tokoh
yang lahir di Jawa dibesar-besarkan sedangkan diluar Jawa merasa
terpinggirkan.<br />
Buya Hamka sudah jadi pahlawan nasional, sekarang ada tokoh bangsa
yang harus dilekatkan menjadi pahlawan nasional seperti Sultan Alam
Bagagarsyah, dan lainnya. Walaupun keinginan kearah itu sudah
dilakukan, seperti pengkajian dan seminar atas Sultan Alam Bagagarsyah
tersebut. Namun upaya tersebut belum jua berbuahkan hasil. Mudahan
dengan kerjasama dan kekuatan yang kita miliki upaya tersebut nantinya
berbuah hasil. Seperti upaya yang kita lakukan untuk manjadikan Buya
Hamka sebagai pahlawan nasional. Wassallam.<br />
<br />
Sumber : http://harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=10028:buya-hamka-jadi-pahlawan-nasional-&catid=12:refleksi&Itemid=82
</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17475964411119059766noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5822610504859449485.post-91826738924388968662012-07-10T21:50:00.002-07:002012-07-10T21:50:58.544-07:00Cukup Allah sebagai Pelindung: Kisah Hamka di Penjara Sukabumi<div style="background-color: white; border: 1px solid rgb(204, 204, 204); font-family: Times,"Times New Roman",serif; height: 500px; overflow: auto; padding: 5px; text-align: justify; width: 500px;">
<div class="content-detail-news">
<b>Oleh </b><b><b>Pr</b>of Dr Yunahar Ilyas</b><br />
Setelah Pemilihan Umum Pertama (1955), Hamka terpilih menjadi
anggota Dewan Konstituante dari Masyumi mewakili Jawa Tengah. Setelah
Konstituante dan Masyumi dibubarkan, Hamka memusatkan kegiatannya pada
dakwah Islamiah dan memimpin jamaah Masjid Agung Al-Azhar, di samping
tetap aktif di Muhammadiyah. Dari ceramah-ceramah di Masjid Agung itu
lah lahir sebagian dari karya monumental Hamka, Tafsir Al-Azhar.<br />
<br />
Zaman
demokrasi terpimpin, Hamka pernah ditahan dengan tuduhan melanggar
Penpres Anti-Subversif. Dia berada di tahanan Orde Lama itu selama dua
tahun (1964-1966). Dalam tahanan itulah Hamka menyelesaikan penulisan
Tafsir Al-Azhar.<br />
<br />
Waktu menulis Tafsir Al-Azhar, Hamka memasukkan
beberapa pengalamannya saat berada di tahanan. Salah satunya
berhubungan de ngan ayat 36 Surah az-Zumar, “Bukan kah Allah cukup
sebagai Pelindung hamba-Nya...”. Pangkal ayat ini menjadi perisai bagi
hamba Allah yang beriman dan Allah jadi pelindung sejati.<br />
<br />
Sehubungan
dengan maksud ayat di atas, Hamka menceritakan pengalaman beliau dalam
tahanan di Sukabumi, akhir Maret 1964. Berikut kutipan lengkapnya.
“Inspektur polisi yang memeriksa sambil memaksa agar saya mengakui suatu
kesalahan yang difitnahkan ke atas diri, padahal saya tidak pernah
berbuatnya. Inspektur itu masuk kembali ke dalam bilik tahanan saya
membawa sebuah bungkusan, yang saya pandang sepintas lalu saya menyangka
bahwa itu adalah sebuah<i> tape recorder</i> buat menyadap pengakuan saya.”<br />
<br />
“Dia
masuk dengan muka garang sebagai kebiasaan selama ini. Dan, saya
menunggu dengan penuh tawakal kepada Tuhan dan memohon kekuatan
kepada-Nya semata-mata. Setelah mata yang garang itu melihat saya dan
saya sambut dengan sikap tenang pula, tiba-tiba kegarangan itu mulai
menurun.”<br />
<br />
“Setelah menanyakan apakah saya sudah makan malam,
apakah saya sudah sembahyang, dan pertanyaan lain tentang
penyelenggaraan makan minum saya, tiba-tiba dilihatnya arlojinya dan dia
berkata, Biar besok saja dilanjutkan pertanyaan. Saudara istirahatlah
dahulu malam ini, ujarnya dan dia pun keluar membawa bungkusan itu
kembali.<br />
<br />
Setelah dia agak jauh, masuklah polisi muda (agen
polisi) yang ditugaskan menjaga saya, yang usianya baru kira-kira 25
tahun. Dia melihat terlebih dahulu kiri kanan. Setelah jelas tidak ada
orang yang melihat, dia bersalam dengan saya sambil menangis, diciumnya
tangan saya, lalu dia berkata, Alhamdulillah bapak selamat!
Alhamdulillah! Mengapa, tanya saya. Bungkusan yang dibawa oleh Inspektur
M itu adalah setrum. Kalau dikontakkan ke badan bapak, bapak bisa
pingsan dan kalau sampai maksimum bisa mati.<br />
<br />
Demikian jawaban
polisi muda yang ditugaskan menjaga saya itu dengan berlinang air mata.
Bapak sangka tape recorder, jawabku sedikit tersirap, tetapi saya
bertambah ingat kepada Tuhan. Moga-moga Allah memelihara diri Bapak.
Ah! Bapak orang baik, kata anak itu.<br />
<br />
Dalam menghadapi paksaan,
hinaan, dan hardikan di dalam tahanan, Hamka selalu berserah diri kepada
Allah SWT. Termasuk ketika Inspektur M datang membawa bungkusan malam
itu, Hamka tetap dengan pendirian. Bukankah Allah cukup sebagai
pelindung hamba-Nya.</div>
<div class="name-redaktur">
<b>Redaktur:</b> Siwi Tri Puji B<br />
<br />
Sumber : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/11/25/lv86ue-cukup-allah-sebagai-pelindung-kisah-hamka-di-penjara-sukabumi </div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17475964411119059766noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5822610504859449485.post-44807732990866406512012-07-10T12:14:00.004-07:002012-07-10T12:14:58.944-07:00Buya HAMKA, Ulama Sejati yang Berdakwah dengan Hati<div style="background-color: white; border: 1px solid rgb(204, 204, 204); font-family: Times,"Times New Roman",serif; height: 500px; overflow: auto; padding: 5px; text-align: justify; width: 500px;">
Saya tak ingat lagi di tahun berapa ketika setiap pagi seusai subuh Buya Hamka berdakwah lewat Radio Republik Indonesia . Saya dan ayah anak2 ku selalu mendengarkan bersama-sama sambil minum kopi. Saya rajin membeli kaset2 beliau yang di jaman itu belum ada CD.<br />
<br />
Entah mengapa akhir2 ini saya begitu rindu mendengar ceramah2 beliau yang menyejukan hati. Ketika di mana mana saya melihat manusia yang mengaku muslim berdakwah dengan kekerasan, padahal Buya mengajarkan bahwa beragama tak boleh kasar, belum sempurna iman seseorang sebelum dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.<br />
<br />
Alhamdulilah saya temukan ceramah2 Buya dari berbagai media online, lalu saya simpan di HP. Dimana saja ketika saya sendiri, saya selalu mendengarkan ceramah2 beliau yang begitu sejuk dan menujam kedalam hati.<br />
<br />
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) demikian nama lengkap ulama besar yang terkenal dengan nama Buya Hamka yang meninggal pada tanggal 24 July 1981 dalam usia 73 tahun. Beliau seorang otodidak dalam berbagai ilmu filsafat, sastra , sejarah, sosiologi dan politik , baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arab yang tinggi beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang andal. (sumber : Wikipedia Indonesia)<br />
<br />
Dalam ceramah beliau yang berjudul ” Bersyukur” kita di ajarkan agar bersyukur ketika mendapat nikmat, bersabar ketika mendapat cobaan. Selalu mengeluh akan menimbulkan penyakit pada jiwa dan raga. Syukur dan sabar bagai dua sayap , yang kanan sayap syukur dan yg kiri sayap sabar. Jika patah salah satu maka kita akan jatuh. ( Duh Buya betapa sulit mencari ulama sejati seperti Buya Hamka…)<br />
<br />
Saya pernah membaca buku berjudul ” Opening The Door of Your Heart” karangan Ajhan Brahm seorang biksu asal Inggris yang kini bermukim di Perth. Ada kisah tentang rasa syukur, ketika suatu masa ia sedang membangun rumah . Bata2 tersusun indah hampir 100 banyaknya dan ia melihat ada 1 bata letaknya tak sesuai. Saat itu ia sangat kesal dan ingin menghancurkan seluruh bata yang telah tersusun itu, namun seseorang berkata. ” Mengapa kamu marah pada 1 bata ketika 99 bata tersusun begitu indah.” .<br />
<br />
Ternyata kisah tentang rasa syukur sudah di ceritakan oleh Alm. Buya Hamka bertahun-tahun sebelumnya, yaitu ketika seseorang mengeluh pada beliau tentang 2 rumah kontrakannya yang rusak padahal ia memiliki 30 rumah kontrakan. Ternyata sebagai manusia kita begitu banyak mengeluh hingga lupa pada karunia berlimpah yang Allah berikan untuk kita.<br />
<br />
Lalu Buya juga mengingatkan bahwa jika mata sudah kabur, uban sudah bertabur, gigi sudah gugur dan kulit sudah kendur, maka yang ke 5 adalah pintu kubur. Kita di ajarkan berdoa agar di jauhkan dari nafsu yang tak pernah kenyang, hati yang tak pernah khusu’, ilmu yang tak bermanfaat dan doa yang tak di dengar.<br />
<br />
Salah seorang bernama Abdul Rahman (syahwiza’s Channel) yang mengupload ceramah2 Buya di Youtube menulis catatan :<br />
<br />
” Guruku yang aku belum pernah bersua dengannya melainkan hanya dari siaran RRI Jakarta, kaset-kaset, dan kitab-kitab tulisannya. Semoga Allah SWT mempertemukan aku dengannya kelak di akhirat dalam syurga. Amin.”<br />
<br />
Buya selalu ada di hatiku , dan kata2 bijakmu kan kuingat selalu. Semoga kita semua dapat menjalankan apa yang beliau sampaikan.Amin.<br />
<br />
BUYA HAMKA, ULAMA SEJATI YANG BERDAKWAH DENGAN HATI.<br />
<br />
Sumber : http://sosok.kompasiana.com/2011/08/21/buya-hamka-ulama-sejati-yang-berdakwah-dengan-hati/
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17475964411119059766noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5822610504859449485.post-48790323965149959592012-07-10T12:13:00.000-07:002012-07-10T12:13:00.283-07:00Bedah Buku “Buya Hamka: Antara Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme”<div style="background-color: white; border: 1px solid rgb(204, 204, 204); font-family: Times,"Times New Roman",serif; height: 500px; overflow: auto; padding: 5px; text-align: justify; width: 500px;">
Oleh: Nur Afilin<br />
Kirim Print<br />
<br />
Cover Buku "Buya Hamka: Antara Kelurusan 'Aqidah dan Pluralisme"<br />
<br />
dakwatuna.com – Sabtu (21/4/2012) Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) kembali menggelar diskusi Dwi-Sabtuan spesial. Dikatakan spesial karena diisi dengan agenda bedah buku Akmal Sjafril, ST. MPdI. berjudul “Buya Hamka: Antara Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme”. Penulis yang akrab dipanggil Bang Akmal ini memang baru saja meluncurkan buku terbarunya tersebut pada tanggal 20 Maret 2012 lalu. Nama beliau sebelumnya dikenal sebagai penulis buku “Islam Liberal 101”, sebuah buku yang cukup dicari masyarakat pencinta ilmu. Hingga saat ini kabarnya buku tersebut sudah dicetak empat kali. Sehingga, ini menjadi hal yang menarik sekali jika kemudian beliau memutuskan membuat buku baru. Lalu, mengapa buku seputar Buya Hamka ini beliau tulis? Apa saja yang dibahas di dalamnya? Mari kita simak bersama uraian berikut.<br />
<br />
Tentu H. Abdul Malik Karim Amrullah (1908-1981 M) atau yang akrab disapa Hamka atau Buya Hamka (karena beliau seorang Minang) merupakan figur yang luar biasa. Ulama, penulis, pendidik, jurnalis, sastrawan, politikus, dan sederet peran penting lainnya pernah beliau emban. Kredibilitas dari tiap karya ketua MUI pertama ini kesohor hingga negeri tetangga. Tak heran jika kemudian ada pihak-pihak yang berusaha menggunakan nama sosok yang baru disahkan sebagai pahlawan nasional Indonesia di tahun 2011 itu sebagai tameng untuk menyebarkan paham-paham menyimpang.<br />
<br />
Adalah tulisan A. Syafi’i Ma’arif berjudul “Hamka tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah” yang menjadi awal permasalahan itu. Yaitu, permasalahan seputar pencatutan nama besar Buya Hamka untuk melegalkan pluralisme. Sebuah paham yang akhirnya makin santer terdengar gaungnya dewasa ini. Dalam artikel yang dimuat di rubrik Resonansi Harian Umum Republika edisi 21 November 2006 itu setidaknya mengandung tiga ‘kelalaian’ (jika tidak ingin disebut kesalahan) yang sangat fatal. Pertama, ketidakcocokan konteks yang digunakan antara tafsiran Buya Hamka dan tulisan Syafi’i Ma’arif. Kedua, tidak dijumpai penjelasan mengenai definisi Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in yang sebenarnya dibahas tuntas oleh Hamka dalam tafsir Al-Azhar karya beliau. Dan ketiga ialah Syafi’i Ma’arif tidak menyertakan bagian paragraf penting dalam tafsir Al-Azhar. Padahal, ketika kita membaca bagian paragraf tersebut secara total, akan jauh sekali dengan apa yang digambarkan Syafi’i Ma’arif dengan arah tafsir Al-Azhar.<br />
<br />
Untuk lebih memperjelas, demikian terjemahan kedua surat dalam Al-Qur’an yang dipaksa menjadi pembenaran pluralisme tersebut:<br />
<br />
“Sesungguhnya orang-orang beriman, dan orang-orang yang jadi Yahudi dan Nasrani dan Shabi’in, barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian dan beramal yang shalih, maka untuk mereka adalah ganjaran dari sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita.” (Al-Baqarah: 62)<br />
<br />
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Maidah: 69)<br />
<br />
Sangat riskan sekali jika makna kedua ayat tersebut didekonstruksi tafsirannya. Padahal, setelah dengan panjang lebar Hamka membahasnya, di bagian akhir beliau menyatakan:<br />
<br />
“Yahudi dan Nasrani sudah sepatutnya terlebih dahulu percaya kepada kerasulan Muhammad apabila keterangan tentang diri beliau telah mereka terima. Dan dengan demikian mereka namanya telah benar-benar menyerah (Muslim) kepada Tuhan. Tetapi kalau keterangan telah sampai, namun mereka menolak juga, niscaya nerakalah tempat mereka kelak.”<br />
<br />
Artinya, beliau sudah mengunci mati bahwa orang Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in zaman sekarang tidak bisa masuk dalam kategori di dua ayat Al-Qur’an tersebut. Ayat tersebut berlaku untuk mereka yang hidup sebelum risalah kenabian Rasulullah Muhammad SAW turun. Bukankah saat ini syi’ar Islam sudah sangat mudah dijumpai di hampir seluruh belahan dunia? Belum lagi media massa yang turut andil menyuarakan dakwah Islam tak terhitung jumlahnya. Sehingga tidak logis jika masih ada anggapan mereka tidak menerima keterangan apapun tentang Islam. Kesimpulan ini yang kemudian diputarbalikkan oleh Syafi’i Ma’arif. Kesan bahwa Hamka itu pluralis pun akhirnya menyeruak ke ruang publik. Akibatnya, beberapa seminar dan simposium digelar dan dengan tanpa segan menyematkan embel-embel pluralis kepada Sang Buya. Dan tidak mustahil itu akan berlarut-larut jika tidak dihentikan. Itulah yang kemudian mendorong Bang Akmal membukukan wacana yang awalnya berupa Tesis Magister Pendidikan Agama Islam di Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor miliknya itu.<br />
<br />
Selain karena munculnya artikel yang pernah membuat pro dan kontra di tubuh Republika tersebut, setidaknya ada tiga alasan mengapa alumnus S1 Fakultas Teknik ITB ini memutuskan menulis buku tersebut. Dari ketiga latar belakang itu, beliau menyatakan alasan sebagai pembuka wacana penggalian kembali warisan intelektual Buya Hamka ialah yang paling utama. Ya, ini tak berlebihan. Mengingat saat ini karya beliau yang sangat kaya dan ‘bergizi’ sudah sepi dibicarakan. Buku-buku Hamka pun sulit dicari di negeri tempat lahir ulama kharismatik ini. Padahal di negeri tetangga seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura kita dengan mudah kita bisa menjumpai buku-buku beliau di toko buku. Amat sayang rasanya kalau kita menyia-nyiakan warisan yang tak ternilai harganya itu. Terlebih lagi banyak karya beliau yang ternyata masih kompatibel dijadikan sebagai landasan dalam bertoleransi, memegang prinsip, dan seputar pemikiran serta aliran menyimpang yang sering menjadi wacana kekinian.<br />
<br />
Masuk lebih dalam lagi, Bang Akmal menguliti satu demi satu aliran pluralisme yang ada. Menurutnya, ini penting dilakukan supaya di kemudian hari tak ada klaim tak ilmiah yang menyatakan Hamka itu pluralis. Di antara paham pluralisme yang dibahas ialah humanisme sekuler, teologi global, sinkretisme, hikmah abadi, dan teosofi-freemasonry. Di antara aliran-aliran tersebut, tak ada satu pun aliran yang cocok pemikirannya dengan Hamka. Justru dalam banyak tulisannya tergambar gamblang bahwa semua paham tersebut sangat berseberangan dengan apa yang Hamka yakini. Dan masih ada beberapa pembahasan seputar pluralisme dan bagaimana sebenarnya pemikiran Hamka dalam buku ini.<br />
<br />
Usai memaparkan dasar pemikiran dan garis besar apa yang dibahas dalam bukunya, sesi tanya-jawab dan diskusi pun dibuka. Seperti biasa banyak terlihat peserta yang mengangkat jari tangannya. Satu demi satu wacana dari peserta masuk menambah seru suasana diskusi. Semua wacana tersebut semakin mengukuhkan bahwa dampak pluralisme sudah menyentuh tataran grassroot. Sehingga, ini menjadi hal yang mendesak walaupun belum tentu masyarakat paham wacana yang masih dianggap elitis ini. Akhirnya, semoga dengan kehadiran buku ini turut bisa menyadarkan masyarakat umum bahwa perkara pluralisme bukan hal remeh.<br />
<br />
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/04/19974/bedah-buku-buya-hamka-antara-kelurusan-aqidah-dan-pluralisme/#ixzz20FTKYpTP
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17475964411119059766noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5822610504859449485.post-31687364558995828822012-07-10T12:09:00.000-07:002012-07-10T12:09:09.660-07:00Hidayatullah “Memperjelas Posisi Hamka soal Pluralisme Agama”<div style="background-color: white; border: 1px solid rgb(204, 204, 204); font-family: Times,"Times New Roman",serif; height: 500px; overflow: auto; padding: 5px; text-align: justify; width: 500px;">
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; font-size: 12px;">Oleh: Dr. Adian Husaini<br /><br /><b>BELUM </b>lama, pada 20 Maret 2012, salah satu peneliti INSISTS, Akmal Syafril, ST., M.Pd.I., menerbitkan bukunya yang berjudul <i>Buya Hamka: Antara Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme. </i>Buku
ini sebenarnya merupakan Tesis Master Pendidikan Islam di Universitas
Ibn Khaldun Bogor. Penerbitan buku ini sangat penting untuk menjernihkan
dan mempertegas pemikiran Buya Hamka tentang Pluralisme Agama.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; font-size: 12px;">
Menurut penulisnya, pada awalnya penulisan buku ini bersumber dari
sebuah makalah yang dibuatnya saat sedang mengikuti studi di Program
Pascasarjana Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun (UIKA), Bogor.
Isinya mengulas sebuah artikel karya Ahmad Syafii Maarif yang dimuat di
Rubrik Resonansi, surat kabar <i>Republika, edisi 21 November 2006, </i>yang diberi judul <i>“Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah”. </i><br />
Sebagian besar isinya adalah kutipan-kutipan dari Tafsir Al Azhar
karya Buya Hamka. Di bagian awalnya, Syafii Maarif menjelaskan alasan di
balik penelitiannya terhadap kedua ayat ini: “Pada suatu hari bulan
November 2006 datanglah sebuah pesan singkat dari seorang jenderal
polisi yang sedang bertugas di Poso menanyakan tentang maksud ayat 62
surat al-Baqarah. Kata jenderal ini pengertian ayat ini penting baginya
untuk menghadapi beberapa tersangka kerusuhan yang ditangkap di sana.”<br />
Di antara berbagai kutipan Tafsir Al Azhar dari artikel tersebut,
inilah salah satunya yang nampaknya paling penting: “Inilah janjian yang
adil dari Tuhan kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang
mana mereka hidup, atau merk apa yang diletakkan kepada diri mereka,
namun mereka masing-masing akan mendapat ganjaran atau pahala di sisi
Tuhan, sepadan dengan iman dan amal shalih yang telah mereka kerjakan
itu.”<br />
Setelah menjelaskan bahwa Hamka menolak pendapat yang menyatakan
bahwa ayat ke-62 dalam Surah al-Baqarah telah di¬-nasakh oleh ayat ke-85
dalam Surah Ali ‘Imran, Syafii Maarif pun memungkas artikelnya dengan
opini berikut: “Sikap Hamka yang menolak bahwa ayat 62 al-Baqarah dan
ayat 69 al-Maidah telah dimansukhkan oleh ayat 85 surat Ali ‘Imran
adalah sebuah keberanian seorang mufassir yang rindu melihat dunia ini
aman untuk didiami oleh siapa saja, mengaku beragama atau tidak, asal
saling menghormati dan saling menjaga pendirian masing-masing.
Sepengetahuan saya tidak ada Kitab Suci di muka bumi ini yang memiliki
ayat toleransi seperti yang diajarkan Al-Quran. Pemaksaan dalam agama
adalah sikap yang anti Al-Quran (lih. al-Baqarah 256; Yunus 99).”<br />
Memang, setelah keluarnya tulisan Syafii Maarif tersebut, terjadi
perdebatan yang cukup seru di Rubrik Opini Harian Republika. Saya pun
segera menulis artikel yang menjawab artikel Syafii Maarif tersebut.
Intinya, saya menegaskan, bahwa Buya Hamka sama sekali bukan seorang
Pluralis Agama. Perlu dicatat, bahwa <a href="http://www.hidayatullah.com/read/2373/16/10/2005/%93bedah-pluralisme-di-bandung%94.html" target="_blank">Pluralisme Agama</a>,
dalam CAP ini adalah paham yang menyatakan bahwa semua agama merupakan
jalan yang sah menuju inti realitas keagamaan. Dalam Pluralisme agama,
tidak ada satu agama yang merasa superior dibanding yang lain. Tapi,
setiap agama dipandang sebagai jalan yang sama-sama sah menuju kebenaran
dan Tuhan (<i>In pluralism, no one religion is superior to any other; each and every religion is equally valid way to truth and God). </i>(Alister E. Mcgrath, Christian Theology: an Introduction, (Oxford: Blackwell Publisher, 1994).<br />
Menurut Akmal, dalam makalahnya, ia mengaku menemukan beberapa
kesalahan fatal yang telah dilakukan oleh Syafii Maarif dalam pengutipan
Tafsir Al Azhar tersebut, terlepas dari ada-tidaknya unsur kesengajaan.<br />
Kesalahan pertama, adalah perihal penggunaan kedua ayat tersebut
yang jauh dari konteks aslinya. Syafii Maarif – dan sang Jenderal Polisi
yang berkonsultasi dengannya – menganggap bahwa kedua ayat ini dapat
digunakan untuk menanggulangi konflik horizontal di Poso. Dari paragraf
kesimpulan yang ditulis oleh Syafii Maarif sebelumnya, kita dapat
memahami bahwa konflik horizontal yang dimaksud adalah konflik antar
umat beragama. Karena digali dari al-Qur’an, maka dapat dipahami pula
bahwa penelaahan ini digunakan untuk meredam keinginan sementara pihak
di kalangan umat Muslim untuk melakukan kekerasan pada umat lain.<br />
Padahal, tegas Akmal, jika Tafsir Al Azhar dibaca secara runut, akan
ditemukan asbabun nuzul dari ayat ke-62 dalam Surah al-Baqarah itu,
yakni untuk menjawab pertanyaan Salman al-Farisi r.a. seputar
orang-orang sholeh yang dijumpainya di masa lampau, sedangkan
orang-orang tersebut beragama Nasrani, Yahudi dan lain-lain. Kesalahan
kontekstual ini akan terlihat jelas kemudian.<br />
Kesalahan kedua disebabkan oleh kelengahan Syafii Maarif untuk
melacak penjelasan nama-nama agama “Yahudi”, “Nasrani” dan “Shabi’in”
dalam Tafsir Al Azhar. Padahal, Buya Hamka sudah menjelaskan masalah
ini. Menurut Hamka, “Yahudi” (berasal dari nama Yehuda, salah satu anak
Nabi Ya’qub as) pada hakikatnya adalah agama-keluarga, “Nasrani”
(berasal dari nama <i>Nashirah, </i>yaitu daerah kelahiran Nabi ‘Isa as) pada hakikatnya adalah agama-bangsa, dan “<i>Shabi’in” </i>adalah
nama yang diberikan bagi orang yang keluar dari agama nenek moyangnya,
sehingga Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wassalam pun pernah disebut
sebagai <i>shabi’</i>.<br />
Dengan definisi tersebut, maka orang yang terlanjur dikenal sebagai
Yahudi, Nasrani dan Shabi’in di masa lampau (yaitu sebelum masa kenabian
Rasulullah saw) bisa beriman dan tak beriman. Contoh yang dapat diambil
adalah Pendeta Bahira. Sejarah mengenalnya sebagai tokoh yang pertama
kali membenarkan kenabian Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wassalam berdasarkan
tanda-tanda yang diketahuinya dari Injil, dan oleh karena itu, ia
dikategorikan sebagai orang yang beriman.<br />
Meski demikian, <i>Bahira </i>tetaplah dikenal sebagai penganut
agama Nasrani, karena memang ia tidak sempat mengikuti ajaran Nabi
Muhammad. Tentu saja, Bahira dapat dianggap sebagai Nasrani yang beriman
hanya karena ia hidup pada masa pra-kenabian Rasulullah saw. Jika ia
sempat bertemu dengan dakwah Rasulullah, tentu ia harus mengucap
syahadatain, dan hanya dengan cara itulah ia bisa dianggap sebagai orang
yang beriman. Hal ini akan semakin jelas pada poin berikutnya.<br />
Kesalahan ketiga – mungkin yang paling fatal – adalah tidak
dicantumkannya sebuah paragraf penting yang dapat ditemukan di akhir
penjelasan ayat ke-62 dalam Surah al-Baqarah dalam Tafsir Al Azhar yang
justru menyimpulkan pendapat Buya Hamka yang sebenarnya secara utuh.
Penjelasannya adalah sebagai berikut: “Yahudi dan Nasrani sudah
sepatutnya terlebih dahulu percaya kepada kerasulan Muhammad apabila
keterangan tentang diri beliau telah mereka terima. Dan dengan demikian
mereka namanya telah benar-benar menyerah (Muslim) kepada Tuhan. Tetapi
kalau keterangan telah sampai, namun mereka menolak juga, niscaya
nerakalah tempat mereka kelak.”<br />
Umumnya, kesimpulan dari sebuah uraian ilmiah, termasuk penafsiran
al-Qur’an, dapat dijumpai di bagian akhirnya. “Dengan menyimak betapa
pentingnya penjelasan di atas, kita pun bertanya-tanya mengapa Syafii
Maarif justru memilih untuk meninggalkan penjelasan ini, yang – jika
dicantumkan – akan segera menghapus kesan pluralis dari sosok Buya Hamka
dalam artikel tersebut?” tulis Akmal, yang sebelumnya sudah dikenal
sebagai penulis buku “Islam Liberal 101”. .<br />
Opini dan kesan bahwa ‘Buya Hamka seorang pluralis’, bagaimana pun,
telah terlanjur bergulir. Hanya berselang enam hari dari dimuatnya
artikel Syafii Maarif tentang Tafsir Al Azhar di surat kabar Republika,
Ayang Utriza NWAY menyampaikan makalahnya dalam acara diskusi publik
bertajuk Islam dan Kemajemukan di Indonesia. Diskusi publik tersebut
diadakan sebagai rangkaian kegiatan dalam <i>Nurcholish Madjid Memorial Lecture </i>di sebuah Perguruan Tinggi di Banten. Makalah yang dibawakannya berjudul “<i>Islam dan Pluralisme di Indonesia: Pandangan Sejarah”. </i>Dalam
makalahnya, Ayang bahkan telah melangkah lebih jauh lagi daripada
Syafii Maarif. Setelah mengutip beberapa poin dalam Tafsir Al Azhar –
lagi-lagi untuk QS. al-Baqarah [2]: 62 – Ayang menyimpulkan:<br />
“Ini berarti bahwa walaupun seseorang mengaku beragama Islam, yang
hanya bermodalkan dua kalimat syahadat, tetapi tidak pernah menjalankan
rukun Islam, maka ia tidak akan pernah mendapat ganjaran dari Allah,
yaitu surga. Sebaliknya jika ada non-Muslim yang taat dan patuh
menjalankan ajaran agamanya, walaupun tidak mengucapkan dua kalimat
syahadat, maka dia akan mendapatkan ganjaran dari Allah: surga.”<br />
Menurut Akmal, tidaklah sulit menunjukkan kesalahan (untuk tidak
menyebutnya ketidakjujuran) fatal yang dilakukan oleh Ayang Utriza
NWAY. Saya pribadi (Adian Husaini) juga menemukan tulisan Ayang Utriza
yang menfitnah Buya Hamka dalam buku Bayang-bayang Fanatisisme:
Esei-esei untuk Mengenang Nurcholish Madjid, (Jakarta: Universitas
Paramadina, 2007). Kutipan makalah Peneliti di Pusat Studi Islam dan
Kenegaraan Universitas Paramadina itu dimuat di halaman 307.<br />
Saya sudah menulis jawaban terhadap tulisan Ayang tersebut untuk buku
100 Tahun Buya Hamka. Bahkan, saat bertemu keluarga Hamka, saya
sampaikan keprihatinan saya tentang tulisan-tulisan yang menfitnah Buya
Hamka. Akan tetapi, meskipun artikel dan makalah sudah kita tulis di
berbagai media massa, tetap saja pendapat yang mengutip tulisan Buya
Hamka secara tidak proporsional juga terus berkeliaran. Bahkan, hingga
kini, tak ada koreksi terhadap kekeliruan yang sudah dilakukan.<br />
Dalam kaitan itulah, hadirnya buku Akmal ini menjadi penting.
Fungsinya, untuk memperjelas posisi Hamka dalam soal Pluralisme Agama
dan membentengi upaya orang-orang yang mengutip tulisan Hamka secara
tidak proporsional atau bahkan memuarbalikkan makna tulisan Hamka yang
sebenarnya. Menurut Akmal, itulah yang mendasarinya mengembangkan
makalahnya menjadi sebuah Tesis dengan judul Studi Komparatif Antara
Pluralisme Agama dengan Konsep Hubungan Antar Umat Beragama dalam
Pemikiran Hamka. Sesuai dengan judulnya, tesis ini tidak hanya membahas
kontroversi dari artikel Syafii Maarif dan makalah Ayang Utriza NWAY
belaka, melainkan mengupas tuntas jawaban dari sebuah pertanyaan besar:
apakah Buya Hamka memang seorang pluralis? Buku Buya Hamka: Antara
Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme merupakan hasil adaptasi dari tesis
tersebut.<br />
Persoalan paling fundamental yang pasti muncul ketika membahas
pluralisme, sebagaimana dijelaskan oleh Anis Malik Thoha dalam bukunya <i>Tren Pluralisme Agama</i>, adalah mendefinisikan <a href="http://www.hidayatullah.com/read/1322/12/08/2004/melacak-pluralisme-agama.html" target="_blank">makna Pluralisme</a>
itu sendiri. Masing-masing pihak yang mengusung pluralisme memiliki
konsepnya sendiri-sendiri, bahkan tidak jarang orang menulis sebuah
makalah atau buku tentang pluralisme tanpa pernah memberikan definisi
pluralisme itu. Oleh karena itu, buku ini pun menguraikan secara
mendalam persoalan definisi pluralisme, sejarah pluralisme dan tren-tren
pluralisme yang ada. Hal-hal ini dijabarkan di dalam bab ketiga.<br />
Setelah menjelaskan tren-tren tersebut, bab keempat dalam buku ini
menguraikan argumen-argumen yang digunakan oleh kaum pluralis dari
kalangan Muslim, terutama dengan bersandar pada sejumlah ayat al-Qur’an.
Pembahasan ini cukup penting, selain karena posisi sentral al-Qur’an
dalam ajaran Islam, juga karena tokoh yang pemikirannya sedang dibahas –
yaitu Buya Hamka – adalah seorang mufassir. Dengan memperbandingkan
penafsiran Hamka dengan penjelasan ayat-ayat tersebut oleh kaum pluralis
Muslim, kita bisa mendapatkan gambaran yang jelas mengenai persamaan
dan/atau perbedaan cara berpikir keduanya.<br />
Karena pada masa hidup Buya Hamka dahulu istilah “pluralisme” belum
dikenal, maka penulis buku ini merasa perlu menguraikan konsep hubungan
antar umat beragama menurut Hamka ke dalam beberapa poin penting.
Poin-poin ini merupakan hal-hal yang sangat fundamental dalam gagasan
pluralisme, misalnya konsep agama, posisi Islam di antara agama-agama
lainnya, pandangan seputar aliran-aliran yang menyimpang,
pengejawantahan toleransi beragama, dan sebagainya.<br />
Sebagai contoh, seorang pluralis pasti menganggap Islam sejajar dan
tidak lebih unggul daripada agama lainnya. Siapa pun yang berpikiran
seperi itu, maka ia memang seorang pluralis. Tetapi Hamka tidak
berpikiran seperti itu. Referensi yang telah ditinggalkan oleh Hamka
begitu berlimpah, sehingga usaha pencarian jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan semacam ini tidaklah sulit untuk dilakukan.<br />
<i>Walhasil, </i>di tengah carut-marutnya pemikiran di Indonesia dewasa ini, buku <i>Buya Hamka: Antara Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme </i>karya
Saudara Akmal ini cukup memberikan penjelasan tuntas seputar
kesemrawutan konsep pluralisme. Karya ini diharapkan mampu merangsang
kembali minat para pemuda Muslim untuk menggali kembali warisan
intelektual dari Buya Hamka, dan juga dari para cendekiawan Muslim
terdahulu lainnya.<br />
“Adapun seputar ‘klaim pluralisme’ terhadap pribadi Hamka, insya
Allah mereka yang sudah tuntas membaca buku ini tidak akan memiliki
keraguan lagi,” tulis Akmal yang menyelesaikan sarjana S-1 nya di bidang
civil engineering di Institut Teknologi Bandung.<br />
Semoga bermanfaat, dan kita menunggu terus karya-karya ilmiah yang
bermutu dari para pejuang Islam lainnya.*/Jakarta, 20 April 2012<br /><br /><i>Penulis Ketua Program Studi Pendidikan Islam—Program Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor). <a href="http://hidayatullah.com/read/22294/20/04/2012/kanal.php?kat_id=15" target="_blank">Catatan Akhir Pekan (CAP) </a>bekerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com</i><br />
Ilustrasi: <i>serbasejarah WP</i></span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; font-size: 12px;"><i>Sumber : http://hidayatullah.com/read/22294/20/04/2012/%E2%80%9Cmemperjelas-posisi-hamka-soal-pluralisme-agama%E2%80%9D.html </i><br />
</span>
<br />
Red: Cholis Akbar</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17475964411119059766noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5822610504859449485.post-83520335178992332792012-07-10T12:03:00.003-07:002012-07-10T12:21:00.163-07:00Hujjatul Islam: Buya Hamka, Ulama Besar dan Penulis Andal<div style="background-color: white; border: 1px solid rgb(204, 204, 204); font-family: Times,"Times New Roman",serif; height: 500px; overflow: auto; padding: 5px; text-align: justify; width: 500px;">
REPUBLIKA.CO.ID, Ia adalah salah satu anak bangsa yang kiprahnya tidak hanya dikenal luas di wilayah Nusantara, namun juga hingga ke negeri-negeri tetangga.<br />
<br />
Hamka, demikian orang-orang memanggil sosok ulama terkenal, penulis produktif, dan mubaligh besar yang berpengaruh di kawasan Asia ini.<br />
<br />
Nama sebenarnya adalah Abdul Malik Karim Amrullah. Sesudah menunaikan ibadah haji pada 1927, namanya mendapat tambahan 'Haji' sehingga menjadi Haji Abdul Malik Karim Amrullah, disingkat Hamka.<br />
<br />
Ensiklopedi Islam menyebutkan tokoh kelahiran Maninjau, Sumatra Barat, 16 Februari 1908 ini hanya sempat masuk sekolah desa selama tiga tahun dan sekolah-sekolah agama di Padangpanjang dan Parabek (dekat Bukittinggi) kira-kira tiga tahun.<br />
<br />
Namun bakat yang dimilikinya dalam bidang bahasa, membuat Hamka dengan cepat bisa menguasai bahasa Arab, dan ini mengantarkannya mampu membaca secara luas literatur Arab, termasuk terjemahan dari tulisan-tulisan Barat.<br />
<br />
Sebagai seorang anak tokoh pergerakan, sejak kanak-kanak Hamka sudah menyaksikan dan mendengar langsung pembicaraan tentang pembaharuan dan gerakannya melalui ayah dan rekan-rekan ayahnya. Ayah Hamka adalah H Abdul Karim Amrullah, seorang tokoh pelopor gerakan Islam 'Kaum Muda' di Minangkabau.<br />
<br />
Sejak usia muda, Hamka sudah dikenal sebagai seorang pengelana. Sang ayah bahkan menjulukinya 'Si Bujang Jauh'. Pada tahun 1942, dalam usia 16 tahun, ia pergi ke Jawa untuk menimba pelajaran tentang gerakan Islam modern melalui H Oemar Said Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhruddin yang mengadakan kursus-kursus pergerakan di Gedung Abdi Dharmo di Pakualaman, Yogyakarta.<br />
<br />
Setelah beberapa lama menetap di Yogyakarta, ia berangkat ke Pekalongan dan menemui kakak iparnya, AR Sutan Mansur, yang waktu itu menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan. Di kota ini ia berkenalan dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah setempat.<br />
<br />
Pada bulan Juli ia kembali ke Padangpanjang dan turut mendirikan Tablig Muhammadiyah di rumah ayahnya di Gatangan, Padangpanjang. Sejak itulah ia mulai berkiprah dalam organisasi Muhammadiyah.<br />
<br />
Pada bulan Februari 1927, ia berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana lebih kurang enam bulan. Selama di Makkah, ia bekerja pada sebuah percetakan. Pada bulan Juli, ia memutuskan kembali ke Tanah Air dengan tujuan Medan dan menjadi guru agama pada sebuah perkebunan selama beberapa bulan. Pada akhir tahun 1927, ia kembali ke kampung halamannya.<br />
<br />
REPUBLIKA.CO.ID, Pada tahun 1928, untuk kali pertama ia terlibat langsung dalam kegiatan Muhammadiyah dengan menjadi peserta muktamar di Solo, dan sejak itu Hamka hampir tidak pernah absen dalam Muktamar Muhammadiyah hingga akhir hayatnya.<br />
<br />
Sepulang dari Solo, ia mulai memangku beberapa jabatan, mulai dari ketua bagian Taman Pustaka, kemudian Ketua Tabligh, sampai menjadi Ketua Muhammadiyah cabang Padangpanjang.<br />
<br />
Pada tahun 1930, ia diutus oleh Pengurus Cabang Padangpanjang untuk mendirikan Muhammadiyah di Bengkalis. Pada tahun 1931, ia diutus oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah ke Makassar untuk menjadi mubalig Muhammadiyah dalam rangka menggerakkan semangat untuk menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-21 pada bulan Mei 1932 di Makassar.<br />
<br />
Pada tahun 1934, ia kembali ke Padangpanjang dan diangkat menjadi Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah. Di awal tahun 1936, Hamka pindah ke Medan dan terjun dalam gerakan Muhammadiyah Sumatra Timur. Di kota ini, ia memimpin majalah Pedoman Masyarakat.<br />
<br />
Pada tahun 1942 ia terpilih menjadi pimpinan Muhammadiyah Sumatera Timur dan baru tahun 1945 meletakkan jabatan itu karena pindah ke Sumatera Barat. Sejak 1946, ia terpilih menjadi Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Daerah Sumatra Barat. Kedudukan ini dipegangnya sampai 1949.<br />
<br />
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto pada 1953, ia terpilih menjadi anggota pimpinan pusat Muhammadiyah dan sejak itu selalu terpilih dalam muktamar.<br />
<br />
Baru pada Muktamar Muhammadiyah tahun 1971 di Makassar, karena faktor usia, ia memohon agar tidak dipilih kembali. Tetapi, sejak itu pula ia diangkat menjadi penasihat pimpinan pusat Muhammadiyah sampai akhir hayatnya. Ia meninggal di Jakarta pada tanggal 24 Juli 1981.<br />
<br />
Aktif menulis<br />
Nama Hamka juga dikenal luas berkat karya-karyanya. Kecintaannya terhadap dunia menulis ini dimulai ketika ia memutuskan untuk memasuki dunia jurnalisme pada akhir tahun 1925.<br />
<br />
Saat itu ia mengirim artikel ke harian Hindia Baru, yang dieditori oleh Haji Agus Salim, seorang pemimpin politik Islam. Sekembalinya ke Padangpanjang, Hamka mendirikan jurnal Muhammadiyah pertama, Chatibul Ummah.<br />
<br />
Sejak saat itu, dia mulai rajin menulis karya-karya sastra. Bukunya yang pertama merupakan sebuah novel Minangkabau berjudul 'Si Sabariah', terbit pada tahun 1925. Dia secara teratur mengirimkan artikel ke jurnal-jurnal lokal dan menerbitkan buku kecil mengenai adat Minangkabau dan sejarah Islam.<br />
<br />
Pada 1936, dia menerima tawaran menjadi editor kepala pada sebuah jurnal Islam baru di Medan, Pedoman Masyarakat. Ketika dia menjabat sebagai editor, jurnal ini menjadi salah satu yang paling sukses dalam sejarah jurnalisme Islam di Indonesia.<br />
<br />
REPUBLIKA.CO.ID, Bagi kehidupan Hamka, masa-masa ketika tinggal di Medan (1936-1945) merupakan tahun-tahun paling produktif. <br /><br />Selama periode ini dia menulis dan mempublikasikan sebagian besar novelnya. Di antaranya <em>Di Bawah Lindungan Ka'bah (1936), Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1937), Merantau ke Deli (1940), </em>dan<em> Di Dalam Lembah Kehidupan (1940). </em><br /><br />Dia juga menulis buku-buku mengenai etika Islam dan tasawuf, seperti <em>Tasawuf Modern (1939), Lembaga Budi (1939), </em>dan<em> Falsafah Hidup (1940). </em><br /><br />Pada tahun 1949, ia menerbitkan biografi orang tuanya dengan judul <em>Ayahku</em>, yang juga memaparkan sejarah gerakan Islam di Sumatera, disamping memoar empat jilid berjudul <em>Kenang-Kenangan Hidup</em> dan jilid pertama <em>Sejarah Umat Islam</em>. <br /><br />Pada
tahun 1950, ketika ia mengadakan lawatan ke beberapa negara Arab
sesudah menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya. Dalam kesempatan ini
ia bertemu dengan pengarang-pengarang Mesir yang telah lama dikenalnya
lewat karya-karya mereka, seperti Taha Husein dan Fikri Abadah. Sepulang
dari lawatan ini ia mengarang beberapa buku roman, yaitu <em>Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, </em>dan<em> Di Tepi Sungai Dajlah.</em><br /><br />Bersama
dengan KH Fakih Usman (Menteri Agama dalam Kabinet Wilopo 1952), pada
bulan Juli 1959, ia menerbitkan majalah tengah bulanan <em>Panji Masyarakat</em>. Majalah ini menitikberatkan soal-soal kebudayaan dan pengetahuan agama Islam. <br /><br />Majalah
ini kemudian dibreidel pada 17 Agustus 1960 dengan alasan memuat
karangan Dr Muhammad Hatta berjudul 'Demokrasi Kita', yang isinya
mengkritik tajam konsep Demokrasi Terpimpin. Majalah ini baru terbit
kembali setelah Orde Lama tumbang, tepatnya pada tahun 1967. Hamka
sendiri dipercaya sebagai pimpinan umum majalah Panji Masyarakat hingga
akhir hayatnya.<br /><br />Hobi menulisnya ini tetap ditekuninya manakala ia
berada di balik terali besi penjara. Pada tanggal 27 Januari 1964,
Hamka ditangkap oleh pemerintahan Soekarno. Dalam tahanan Orde Lama ini
ia menyelesaikan kitab <em>Tafsir Al-Azhar</em> (30 Juz). Ia keluar dari tahanan setelah Orde Lama tumbang.<br /><br />Hamka
meninggalkan karya yang sangat banyak; di antaranya yang sudah
dibukukan tercatat lebih kurang 118 buku, belum termasuk
karangan-karangan panjang dan pendek yang dimuat di berbagai media massa
dan disampaikan dalam beberapa kesempatan kuliah atau ceramah ilmiah.
Tulisan-tulisan itu meliputi banyak bidang kajian, seperti politik,
sejarah, budaya, akhlak, dan ilmu-ilmu keislaman.<br />
<br />
REPUBLIKA.CO.ID, Semasa hidupnya, Hamka dikenal sebagai sosok yang memiliki pendirian yang tegas, terutama dalam memperjuangkan dakwah Islam. Sikap tegasnya ini juga ditunjukkannya manakala pada tahun 1975 ia diberi kepercayaan untuk duduk sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).<br />
<br />
Fatwa Haram yang Menuai Kecaman<br />
Berbagai pihak waktu itu sempat sangsi terhadap Hamka. Bila jabatan tersebut diterimanya, maka dikhawatirkan ia tidak akan mampu menghadapi intervensi kebijakan pemerintah Orde Baru kepada umat Islam saat itu.<br />
<br />
Namun, Hamka menepis keraguan itu dengan mengambil langkah memindahkan kantor pusat kegiatan MUI dari Masjid Istiqlal ke Masjid Al-Azhar. Langkah ini ditempuh Hamka untuk mendorong MUI menjadi lembaga yang independen.<br />
<br />
Usaha Hamka untuk membuat independen lembaga MUI mulai terasa ketika pada awal 1980 lembaga ini berani melawan arus dengan mengeluarkan fatwa mengenai persoalan perayaan Natal bersama. Saat itu, Hamka menyatakan haram bila ada umat Islam mengikuti perayaan keagamaan itu.<br />
<br />
Keberadaan fatwa tersebut kontan saja membuat geger publik. Terlebih lagi pada waktu itu arus kebijakan pemerintah tengah mendengungkan isu toleransi. Berbagai instansi waktu itu ramai mengadakan perayaan Natal bersama. Bila ada orang Islam yang tidak bersedia ikut merayakan natal, maka mereka dianggap kaum fundamentalis dan anti-Pancasila.<br />
<br />
Keadaan itu kemudian memaksa MUI mengeluarkan fatwa. Risikonya Hamka pun mendapat kecaman. MUI ditekan dengan gencarnya melalui berbagai pendapat di media massa yang menyatakan bahwa fatwa tersebut akan mengancam persatuan negara. Melalui sebuah tulisan yang dimuat di Majalah Panjimas, Hamka berupaya mempertahankan fatwa haram merayakan Natal bersama bagi umat Islam yang dikeluarkannya.<br />
<br />
Hamka yang waktu itu tetap berpendirian teguh tidak akan mencabut fatwa Natal tersebut, akhirnya memilih untuk meletakkan jabatannya setelah ada desakan dari pemerintah. Ia mundur dari MUI pada 21 Mei 1981. Tak lama kemudian, beliau meninggal dunia, tepatnya pada tanggal 24 Juli 1981.<br />
<br />
Oleh sejumlah kalangan, sikap tegas Hamka ketika memimpin MUI merupakan cerminan dari pribadinya. Bahkan, banyak pihak yang mengatakan sepeninggal Hamka, Fatwa MUI terasa menjadi tidak lagi menggigit. Bahkan di masa Orde Baru, posisi lembaga ini terkesan hanya sebagai tukang stempel kebijakan pemerintah terhadap umat Islam belaka. <br />
<br /></div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17475964411119059766noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5822610504859449485.post-18304218766529351042012-07-10T11:51:00.004-07:002012-07-10T11:51:44.304-07:00Buya Hamka di Mata Orang Minang<div style="background-color: white; border: 1px solid rgb(204, 204, 204); font-family: Times,"Times New Roman",serif; height: 500px; overflow: auto; padding: 5px; text-align: justify; width: 500px;">
<div class="isiberita">
<div style="font-size: 14px; line-height: 21px;">
<b>"Beliau berani menentang Orde Baru yang dianggapnya keliru.”</b></div>
<div style="font-size: 14px; line-height: 21px;">
<b>VIVAnews</b>
-- Buya Hamka baru saja ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional dalam
upacara di Istana Negara yang dipimpin Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Ketokohan Buya Hamka yang membuat ulama serta pejuang ini
pantas menyandang status sebagai pahlawan nasional.<br />
<br />
Sebelumnya,
sederet nama dari Minang juga telah diakui ketokohannya secara nasional
dan menyandang status serupa. Sebut saja seperti Bung Hatta dan M
Natsir. Bagaimana tanggapan petinggi di Sumbar terkait penganugerahan
gelar pahlawan nasional pada tokoh-tokoh asal Minang?<br />
<br />
“Saya
bangga dan senang dengan pemberian gelar pahlawan nasional bagi
tokoh-tokoh Minang termasuk penganugerahan gelar serupa pada Syafruddin
Prawiranegara,” kata Wakil Gubernur Sumbar Muslim Kasim pada <i>VIVAnews</i>, Senin, 14 November 2011.<br />
<br />
Kebanggaan
ini, ujar Wagub, memotifasi kalangan muda Minang untuk berbuat lebih
baik. Penganugerahan gelar pahlawan nasional pada tokoh Sumbar tersebut
dinilai sebagai tantangan bagi generasi Minang saat ini.<br />
<br />
“Ini
menjadi spirit bagi kita untuk membuktikan bahwa orang-orang di Sumbar
memiliki peran aktif dan berjuang bersama untuk kemerdekaan RI,” tambah
Muslim. Terkait kiprah Syafruddin Prawiranegara yang bukan orang Minang,
menurutnya, kiprah mantan Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
(PDRI) melekat dalam ingatan orang Minang.<br />
<br />
<b>Orang Berani</b><br />
Walikota
Padang Fauzi Bahar mempunyai cerita sendiri terhadap figur Buya Hamka.
Penggemar Buya Hamka ini rela mengikuti pengajian Buya Hamka di salah
satu masjid di Jakarta Selatan, sewaktu masih kecil.<br />
<br />
“Dari dulu, ke mana pun beliau memberi pengajian, saya kerap mengikutinya,” kata Fauzi Bahar pada <i>VIVAnews</i>. Apa yang membuat orang nomor satu di Padang ini tertarik dengan ketokohan Buya Hamka?<br />
<br />
Menurut
Fauzi, ia mengenal ketokohan Buya Hamka dari orang tuanya. Beragam buku
tulisan Buya Hamka seperti "Tenggelamnya Kapa Van Der Wijck" merupakan
persinggungannya dengan ustad sekaligus pejuang tersebut. Direcoki
dengan sejumlah buku Buya Hamka membuat Fauzi, selalu bersemangat untuk
mendengar langsung cerita dari orang tuanya.<br />
<br />
“Saya selalu berada
di saf depan dan cepat-cepat datang ke pengajian Buya Hamka jika tahu
ada pengajiannya,” cerita Fauzi. Ia mengaku, figur Buya Hamka punya daya
tarik tersendiri.</div>
<div style="font-size: 14px; line-height: 21px;">
“Sampai sekarang tidak
akan pernah ada ditemukan sosok seperti beliau,” ujar Walikota. Sebagai
anak muda saat itu, Fauzi mengenal Buya Hamka sebagai sosok yang berani
dalam menentang arus.<br />
<br />
“Beliau orang yang berani berkata benar.
Beliau berkata tentang bahaya komunis saat komunis masih kuat, dan
menentang Orde Baru yang dianggapnya keliru,” papar Fauzi.<br />
<br />
Seperti
dimuat situs ini sebelumnya, Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang
disingkat HAMKA selain dikenal sebagai pemimpin Muhammadiyah, juga
seorang penulis dan aktivis. Karya sastra pria kelahiran Kampung Molek,
Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 itu telah diangkat ke layar
lebar yakni, novel “Di Bawah Lindungan Kabah” yang ditulisnya pada 1936.<br />
<br />
Kegiatan
politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota
partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang
usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan
menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947,
Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Di
masa kemerdekaan, Hamka ikut membesarkan Partai Masyumi, namun
belakangan lebih giat di bidang sosial keagamaan. (eh)<br />
<br />
sumber : http://nasional.news.viva.co.id/news/read/263883-buya-hamka-di-mata-orang-minang <br />
<br />
Laporan: Eri Naldi| Padang</div>
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17475964411119059766noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5822610504859449485.post-79721909100533280482012-07-10T11:34:00.004-07:002012-07-10T11:37:43.244-07:00Nasehat Buya Hamka untuk Penulis Pemula<div style="background-color: white; border: 1px solid rgb(204, 204, 204); font-family: Times,"Times New Roman",serif; height: 500px; overflow: auto; padding: 5px; text-align: justify; width: 500px;">
<span style="font-size: small;">Satu hal yang tidak pernah H Ridwan Saidi Tokoh Masyarakat Betawi lupakan adalah ketika pada satu hari ulama besar itu memanggilnya. Buya Hamka sebelumnya telah membaca tulisan nya yang dimuat di surat kabar lokal. ” Kamu pintar menulis, tapi kamu punya tulisan belum ada tuahnya.”
Dari nasihat itu, Ridwan yang saat ini sering muncul di acara dialog salah satu stasiun TV itu menangkap bahwa Buya menghendakinya untuk menulis dengan hati nurani dan kritis menangkap persoalan di tengah masyarakat. </span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"> Rasanya malu sekali diri ini ditengah keributan mempertentangkan sastra di kompasiana, ketika menyaksikan peng anugerah an gelar Pahlawan Nasional untuk Buya Hamka. Kita belum begitu memahami seluk beluk menulis dengan benar tetapi telah bertengkar tak tentu arah.
Nasehat Buya sangat tepat sekali, tuah atau roh tulisan itulah yang belum kita dapat. Sebagai penulis pemula pantaslah rasa penuh hormat disampaikan kepada Sastrawan Indonesia yang telah menulis begitu banyak karya sastra yang menjadi bacaan wajib pecinta sastra.
Ya, Alhamdulillah akhirnya Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Prof Dr Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) (Alm) Tokoh Pejuang dari Sumatera Barat sebagai Pahlawan Nasional. </span><br />
<br />
<span style="font-size: small;">Seperti banyak ditulis di media, Buya Hamka adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis yang karyanya telah memperkaya khasanah pemikiran Indonesia. Karya sastra pria kelahiran Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 itu telah diangkat ke layar lebar. Yakni, novel “Di Bawah Lindungan Kabah” yang ditulisnya pada 1936. Buya Hamka wafat di Jakarta pada 24 Juli 1981, meninggalkan 11 anak. Buya Hamka juga telah menulis novel Tenggelamnya Kapal van der Wijk, Si Sabariah, Dijemput Mamaknya, Merantau ke Deli, dan kumpulan cerpen Di Dalam Lembah Kehidupan. Diantara buku tersebut, terakhir saya menemukan buku Di dalam lembah kehidupan ditengah buku buku bekas, sungguh sangat menyedihkan.
Buya Hamka adalah seorang ulama dan ia pengarang. Novel novel lebih banyak ditulis ketika masih berusia muda. Setelah itu Beliau kosentrasi di pembinaan umat, namun ditengah kesibukannya Buya Hanya tetap menulis. </span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"> Karya momumental beliau adalah, ketika menulis Tafsir Al Qur’an 30 Juz, yang diberinya judul dengan nama masjid yang di imaminya dan dicintainya, Tafsir Al Azhar.
Saya dapat membayangkan ditengah keterbatasan fasilitas tulis menulis di zaman nya, Buya tetap produktif melahirkan karya sastra gemilang. Hanya bermodalkan mesin ketik biasa beliau gigih melampiaskan rasa hati nya, sungguh sangat luar biasa dan mengagumkan. Mungkin seandainya Buya dilahirkan sezaman dengan kita dengan fasilitas komputer, internet, fotocopy, email dan segala macam teknologi termodern, entah berapa banyak lagi karya sastra yang bisa Buya lahirkan.
Nah, penulis di zaman teknologi modern saat ini, mungkin yang diperlukan adalah mengumpulkan simpul simpul semangat dalam menulis. </span><br />
<br />
<span style="font-size: small;">Kemudian dengan ” sepenuh hati ” menuangkan inspirasi hasil olah pikirnya untuk menghasilkan karya karya yang memiliki ruh seperti yang di nasehatkan Buya Hamka. Kemudahan teknologi hanya berisyarat instan ketika menyajikan (posting) tulisan, namun sejujurnyan tulisan itu sejatinya telah melalui proses panjang sebelum menekan tuts publish. Tulisan adalah gambaran sebenarnya dari kepribdian seseorang, siapa yang mau kepribadiannya di nilai tidak elok oleh para penggemar sastra, katanya.
Sumber : http://sejarah.kompasiana.com/2011/11/08/nasehat-buya-hamka-untuk-penulis-pemula/
</span></div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17475964411119059766noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5822610504859449485.post-63119106083400809692012-07-10T10:37:00.002-07:002012-07-10T10:42:23.762-07:00Jiwa Besar Buya Hamka Terhadap Lawan Politiknya<div style="background-color: white; border: 1px solid #ccc; height: 500px; overflow: auto; padding: 5px; width: 500px;">
<h2>
<span style="font-size: small;"><b>Pesan Terakhir Mr. Moh. Yamin dan Soekarno Menjelang Ajal serta Pesan Penting Pramudya Ananta Tur</b></span>
</h2>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><b>فَأَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا فِطْرَةَ اللهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ
عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ</b></span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: small;">“Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak
ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Ruum: 30).</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Rangkaian
tulisan berikut adalah penggalan dari perjalanan hidup Prof. KH. Abdul
Malik Karim Amrullah alias Buya Hamka yang dikisahkan oleh putra kelima
beliau, yakni KH. Irfan Hamka di dalam bukunya Kisah-Kisah Abadi Bersama
Ayahku Hamka.<sup>1</sup> </span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Penggalan
ini berkisah tentang kebesaran jiwa dan sifat pemaaf Buya Hamka kepada
lawan-lawan politiknya secara ideologis: antara Islam, nasionalis dan
komunis yang diwakili para tokohnya yakni pencetus penggali Pancasila
Mr. Moh.Yamin dan Soekarno serta tokoh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat)
Pramudya Ananta Tur; padahal tak jarang demi mempertahankan dan membela
keyakinannya itu Buya Hamka harus masuk penjara, difitnah,
disingkirkan, dimiskinkan namun kesabaran beliau dalam menghadapi ujian
itu berbuah menjadi hikmah yang luar biasa yang diantaranya terungkap
dalam penggalan kisah berikut ini yang insya Allah dapat membuka mata
hati siapapun yang membacanya, meresapinya dan menghayatinya untuk
menetapi jalan Islam menuju keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selamat
membaca.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><b>Pesan Terakhir Mr. Mohammad Yamin</b></span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Masih
ada lagi bukti-bukti bagaimana kebesaran jiwa dan pemaafnya ayahku (Buya
Hamka – pen.). Susah kita mengukur pribadi orang yang memiliki jiwa
sebesar ayahku, Hamka.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Dalam
tulisan yang kusiapkan, penulis ini berusaha menghindari penilaian yang
subyektif karena aku anak beliau. Kucoba merangkai bagaimana sifat
pemaaf yang begitu ikhlas diberikan ayah kepada orang-orang yang
membencinya. menzalimi dan memfitnah.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Tahun
1955 sampai 1957, sebagai seorang anggota Konstituante dari Fraksi
Partai Masyumi, ayah cukup aktif dalam sidang merumuskan Dasar Negara
Rl. Ada 2 pilihan untuk dasar negara kita; <b><i>pertama, </i></b>UUD 1945 Negara berdasarkan Islam. <b><i>Kedua, </i></b>UUD 1945/ dengan dasar negara Pancasila</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Untuk
kedua pilihan dasar negara itu, terbuka dua front yang sama kuat. Front
pertama tentu saja kelompok Islam. Masyumi sebagai pimpinannya,
mengajukan dasar negara berdasarkan Islam. Front kedua, dipimpin PNI,
Partai Nasional Indonesia ingin negara berdasarkan Pancasila.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Dalam suatu acara persidangan ayah menyampaikan pidato politiknya, dengan beraninya menyampaikan isi pidatonya:</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">"Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka … " </span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Tentu
saja para hadirin dalam sidang paripurna Konstituante itu terkejut
mendengar pernyataan ayah. Tidak saja pihak pendukung Pancasila, juga
para pendukung negara Islam sama-sama terkejut.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Mr. Moh.
Yamin sebagai seorang anggota Konstituante dari Fraksi PNI turut
terkejut atas pernyataan ayah itu. Tokoh PNI itu tidak saja marah,
berlanjut menjadi benci. Walaupun kedua tokoh yang berseberangan
sama-sama dari Sumbar. Moh Yamin tidak dapat menahan kebencian- nya
kepada ayah. Baik bertemu dalam acara resmi, seminar kebudayaan dan
sama-sama menghadiri sidang Konstituante, kebencian itu tetap tak dapat
dihilangkannya. Akibat dari pidato ayah, bahwa menjadikan Pancasila
sebagai dasar negara sama saja merintis jalan ke neraka, sedangkan Mr.
Moh. Yamin sangat percaya pada mitos bahwa penggali Pancasila itu
Soekarno.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Penulis
masih ingat ketika rumah kami kedatangan tamu Buya KH. Isa Anshari.
Ulama sekampung dengan kampung kami Maninjau, beliau sudah lama bermukim
di Kota Bandung Dalam acara makan siang, Buya KH. Isa Anshari bertanya
kepada ayah; "Apa masih tetap Yamin bersitegang dengan Hamka ?"</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Ayah menjawab, "Rupanya bukan saja wajahnya yang diperlihatkan kebenciannya kepada saya, hati nuraninya pun ikut membenci saya."</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Bertahun-tahun
setelah dekrit di mana Soekarno kemudian membubarkan Konstituante,
parlemen dan menetapkan UUD '45 dan Pancasila sebagai dasar negara,
terjadi peristiwa yang luar biasa. Tahun 1962; Mr. Moh. Yamin jatuh
sakit parah dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, RSPAD. Ayah
mengetahuinya dari berita koran dan radio. Ayah menerima telepon dari
Bapak Chairul Saleh, salah seorang menteri pada waktu itu. Menteri ini
ingin datang bersilaturahim kepada ayah dan menyampaikan perihal sakit
Mr. Moh. Yamin.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Chaerul
Saleh datang menemui ayah di rumah. Kepada ayah, menteri di era Soekarno
ini menceritakan perihal sakitnya Mr. Moh. Yamin.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">"Buya,
saya membawa pesan dari Bapak Yamin. Beliau sakit sangat parah. Sudah
berhari-hari dirawat. Saya sengaja datang menemui Buya. Ada pesan dari
Pak Yamin, mungkin merupakan pesan terakhir. “</span><span style="font-size: small;"> </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">"Apa pesannya?" tanya ayah.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">"Pak
Yamin berpesan agar saya menjemput Buya ke rumah sakit. Beliau ingin
menjelang ajalnya, Buya dapat mendampinginya, sekarang Pak Yamin dalam
sekarat."</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Ayah agak tercengang mendengar pesan Pak Yamin itu. Teringat kembali sikap bermusuhan dan membencinya.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">"Apalagi pesan Pak Yamin?” Kembali ayah bertanya kepada menteri yang ditugaskan Pak Yamin itu.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">"Begini
Buya, yang sangat merisaukan pak Yamin, beliau ingin bila wafat dapat
dimakamkan di kampung halamannya yang telah lama tidak dikunjungi.
Beliau sangat khawatir masyarakat Talawi tidak berkenan menerima
jenazahnya. Ketika terjadi pergolakan di Sumatara Barat, Pak Yamin turut
mengutuk aksi pemisah-an wilayah dari NKRI. Beliau mengharapkan sekali
Hamka bisa menemaninya sampai ke dekat liang lahatnya. "</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Hanya
sebentar ayah termenung. Banyak pengalaman pahit yang dirasa oleh ayah
selama beberapa tahun ini dengan tokoh yang mengaku wajahnya mirip
dengan Patih Majapahit Gajah Mada itu. "Kalau begitu mari bawa saya ke
RSPAD menemui beliau."</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Sore itu
juga ayah dan Pak Chaerul Saleh tiba di rumah sakit. Dalam ruangan VIP,
banyak pengunjung. Ada Pendeta, Biksu Budha dan pengunjung yang lain.
Pak Yamin terbaring di tempat tidur dengan slang infus dan oksigen
tampak terpasang. Melihat kedatangan ayah tampak wajahnya agak berseri.
Dengan lemah Pak Yamin menggapai ayah untuk mendekat. Salah seorang
pengunjung meletakkan sebuah kursi untuk ayah duduk di dekat tempat
tidur. Ayah menjabat tangan Pak Yamin dan mencium kening tokoh yang
bertahun-tahun membenci ayah.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Dengan
suara yang hampir tidak terdengar dia berkata: " Terima kasih Buya sudi
datang." Dari kedua kelopak matanya tampak air mata menggenangi matanya.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">"Dampingi saya," bisiknya lagi. Tangan ayah masih terus digenggamnya.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Mula-mula ayah membisikkan surat Al Fatihah. Kemudian kalimat <i>La ilaha illallah Muhammadan Rasalullah</i>.
Dengan lemah Pak Yamin mengikuti bacaan ayah. Kemudian ayah mengulang
kembali membaca dua kali. Pada bacaan kedua ini tidak terdengar Pak
Yamin mengikuti, hanya dia mem-beri isyarat dengan mengencangkan
genggaman tangannya ke tangan ayah. Kembali ayah membisikkan kalimat <i>"tiada Tuhan selain Allah"</i>
ke telinga Pak Yamin. Tidak ada respon. Ayah merasa genggaman Pak Yamin
mengendur dan terasa dingin dan terlepas dari genggaman ayah.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Seorang dokter datang memeriksa. Dokter itu memberitahu Pak Yamin sudah tidak ada lagi.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><i>"Innalillahi wa inna lillaihi rajiun." </i></span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Tokoh yang bertahun-tahun sangat membenci ayah, diakhir hayatnya meninggal dunia sambil bergenggaman tangan dengan ayah.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Dari
rumah sakit ayah diajak Bapak Chairul Saleh ke Istana Negara. Waperdam
III (Wakil Perdana Menteri III) ini ingin melapor atas wafatnya Pak
Yamin kepada Presiden Soekarno. Pemerintah telah mempersiapkan acara
pemakaman kenegaraan di TMP Kalibata, Jakarta.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Karena
wasiat terakhir Pak Yamin ingin dimakamkan di kampung halaman Talawi,
Sawah Lunto. Presiden memerintahkan Gubernur Sumatera Barat Drs. Harun
Zen untuk mempersiapkan upacara kenegaraan.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Sebelum
meninggalkan istana, Presiden Soekarno menyalami ayah sambil berucap:
"Terima kasih atas kebesaran jiwa Bung turut mendampingi Yamin menjelang
wafatnya dan bersedia mengantarnya ke Talawi. Atas nama pribadi dan
pemerintah saya ucapkan terima kasih."</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">(Ini
adalah pertemuan terakhir antara ayah dan Presiden Soekarno, 2 tahun
kemudian ayah dicebloskan ke penjara atas perintah Soekarno).</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Keesokan
harinya, memenuhi pesan terakhir Almarhum Pak Yamin, agar ayah bersedia
menemani jenazahnya dimakamkan di Kampung Talawi, Sawah Lunto Sumatera
Barat dikabulkan ayah.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Proses
pemakaman dilakukan dengan upacara kenegaraan. Inspektur upacaranya
bapak Menteri Chaerul Saleh. Siang itu juga ayah kembali ke Jakarta.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">(Cerita
dengan Pak Yamin ini penulis mendengar dari ayah sendiri dan terakhir
dari saudara Syakir Rasyid putra Buya St. Mansur yang ikut mendengar
Iaporan ayah kepada guru beliau A.R. St. Mansyur sepulang dari Talawi di
rumah Buya St. Mansyur).</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><b>Pesan Terakhir Soekarno</b></span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Dua
tahun 4 bulan Iamanya ayah ditahan atas perintah Presiden Soekarno,
waktu itu dari tahun 1964-1966, dengan tuduhan melanggar undang-undang
Anti Subversif Pempres No. 11, yaitu tuduhan merencanakan pembunuhan
Presiden Soekarno.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Betapa
beratnya penderitaan kami sepeninggal ayah yang ditahan. Buku-buku
karangan ayah dilarang. Ayah tidak bisa Iagi memenuhi undangan untuk
berdawah. Pemasukan uang terhenti. Untuk menyambung hidup ummi mulai
menjual barang dan perhiasan.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Ayah
baru bebas setelah rezim Soekarno jatuh, digantikan oleh Soeharto. Ayah
kembali melakukan kegiatan seperti sebelum ditahan Soekarno.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Tanggal
16 Juni 1970, ayah dihubungi oleh Bapak Kafrawi, Sekjen Dep. Agama.
Pagi-pagi sekjen ini datang ke rumah, Pak Kafrawi membawa pesan dari
keluarga mantan Presiden Soekarno untuk ayah. Pesan itu pesan terakhir
dari Soekarno, begini pesannya; “Bila aku mati kelak. minta kesediaan
Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku."</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">“Jadi beliau sudah wafat?" Ayah bertanya ke Pak Kafrawi.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">"Iya Buya. Bapak telah wafat di RSPAD, sekarang jenazahnya telah di bawah ke Wisma Yaso." (Ini versi pertama).</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Ada satu
versi lagi menyatakan bahwa dalam keadaan sekarat mantan Presiden RI
ini menyampaikan pesannya kepada keluarga beliau, bahwa bila datang
ajalnya, beliau ingin yang menjadi imam sembahyang jenazahnya dilakukan
oleh Hamka. Pesan itu disampaikan oleh keluarganya kepada Presiden
Soeharto yang telah menggantikan beliau sebagai Presiden RI ke-2.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Presiden
Soeharto mengutus salah seorang Aspri (Asisten Pribadi)nya Mayjen Suryo
menemui Buya Hamka di rumah JI. Rd.Fatah, didampingi seorang sekjen
Dep. Agama RI. Kepada ayah utusan Presiden Soeharto itu menyampaikan
permintaan terakhir Soekano. Tanpa ragu pesan yang dibawa utusan
Presiden Soeharto dilaksanakan oleh ayah.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Ayah
tiba di Wisma Yaso bersama penjemputnya. Di wisma itu telah banvak
pelayat berdatangan, penjagaan pun sangat kuat. Shalat jenazah baru akan
dimulai menunggu kehadiran ayah. Ayah dengan mantap menjadi imam
jenazah Soekarno. Pesan terakhir mantan Presiden Pertama dengan ikhlas
dijalankan oleh ayah.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Aku
sangat menyesal tidak bisa mengikuti peristiwa ayah dijemput untuk
mengimami sholat jenazah mantan Presiden Soekarno dari dekat karena
berada di luar kota Jakarta. Dalam menyiapkan buku ini menyangkut pesan
terakhir Soekarno aku harus mencari inrormasi. Tokoh-tokoh yang terlibat
dalam peristiwa itu banyak yang sudah meninggal dunia termasuk almarhum
abangku H. Zaky Hamka yang ikut menemani ayah ke Wisma Yaso.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Hubungan
antara ayah dan Bung Karno telah terjalin sejak tahun 1941. Selesai
menghadiri Muktamar Muhammadiyah ke-30 di Yogyakarta, Januari 1941, atas
ajakan H. Abdul Karim (Oei Tjing Hin) Konsul Muhammadiyah Bengkulu
seorang Tokoh Cina Muslim, menemui Soekano di tempat pengasingannya di
Bengkulu. Dalam pertemuan selama 2 jam itu hubungan keduanya jadi akrab.
Untuk kenang-kenangan mereka berfoto bersama.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Tahun
1946 setelah kemerdekaan, Soekarno telah diangkat menjadi Presiden RI
pertama, Presiden mengajak ayah untuk pindah dari Medan ke Jakarta.
Namun karena situasi tanah air yang belum selesai urusannya dengan
Belanda, terjadi aksi polisionil pertama tahun 1947 permintaan Presiden
tertunda. Pada tahun berikutnya 1948 Presiden Soekarno berkunjung ke
Sumatera Barat. Kembali ayah bertemu dengan Soekarno di Bukit Tinggi.
Pada kesempatan itu ayah menghadiahkan sebuah puisi kepada Presiden
Pertama itu dengan judul "<i>Sansai juga aku kesudahannya</i>.”</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Setelah
penyerahan Kedaulatan 1949, di awal 1950 ayah mengajak kami pindah ke
Jakarta. Pada peringatan Isra' Miraj Nabi Muhammad SAW tahun 1950, ayah
diminta Presiden Soekarno memberikan wejangan tentang rahasia Isra'
Miraj di Istana. Hubungan baik terus berlanjut. Sewaktu pelaksanaan
shalat ldul Fitri tahun 1951 diadakan di Lapangan Banteng yang
diselenggarakan oleh PHBI (Panitia Hari Besar Islam) Jakarta aku turut
diajak ayah, ayah duduk berdampingan dengan Presiden kita waktu itu. Aku
duduk diapit ayah dan Soekarno. Aku sangat bahagia karena aku
diperkenalkan ayah ke Soekarno.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Aku
bersalaman dengan Presiden kita yang gagah itu. Kulit wajah beliau putih
kemerah-merahan, segar. Tatapan matanya kuat ketika bersalaman
denganku. Usiaku ketika itu 8 tahun. Bila aku ingat kejadian itu, aku
sering tersenyum sendiri karena Presiden kita itu memakai kaus kaki yang
robek di ujung sebelah kanan. Sambil mengikuti takbir Presiden RI
Pertama itu tampak asyik mengelus-elus jempol kakinya yang tersembul
dari robekan kaos kaki kanannya.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Tahun
1955 ayah terpilih menjadi anggota Konstituante. Sejak itu hubungan
akrab dengan Soekarno mulai renggang. Ayah dengan segenap fraksi Partai
Islam memperjuangkan negara berdasarkan Islam. Sedangkan Presiden
Soekarno ingin mempertahankan negara berdasarkan Pancasila. Sejak itu
hubungan dua orang yang sebelumnya seperti bersaudara terputus. Baru
tahun 1962 mereka bertemu kembali ketika ayah turut menyelenggarakan
jenazah Mr. Moh. Yamin. Dua tahun kemudian ayah ditangkap atas perintah
Presiden Soekarno.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Setelah 8
tahun kemudian 1970, kedua orang yang dulu-nya bersahabat dipertemukan
kembali, hanya situasinya berbeda. Soekarno berada dalam peti jenazah,
ayah berdiri di dekat peti jenazah itu bertindak sebagai imam sembahyang
jenazah orang yang pernah menjebloskan diri beliau masuk penjara selama
2 tahun 4 bulan. Tampak benar bagi penulis, walaupun keadaan dua orang
ini berbeda paham politik yang tajam, namun dalam hati mereka tetap
menjaga tali silaturahmi. Soekarno tidak membenci ayah. Begitu pula ayah
pun tidak dendam kepada Soekarno.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Akibat
ayah mengimami jenazah Soekarno, teman-teman ayah banyak yang
menyesalkan tindakan ayah itu. Ada yang mengatakan bahwa Soekarno itu
munafiq. Ada pula yang bertanya: "Apa Buya tidak dendam kepada orang
yang telah membenamkan Buya dalam penjara?"</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Dengan
lemah lembut ayah menjawab semua kritik itu. "Hanva Allah yang lebih
tahu orang-orang yang munafiq Dan saya harus berterima kasih, karena
dalam penjara saya dapat kesempatan menulis tafsir Al-Quran 30 juz. Satu
hal lagi jangan dilupakan bahwa almarhum memprakarsai pembangunan 2
buah masjid yang monumental, satu masjid Baiturrahim di Istana Merdeka.
Satu lagi masjid terbesar di Asia Tenggara, Masjid Istiqlal. Semoga ini
menjadi amal yang tak terhingga untuk Soekarno.”</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><b>Pesan Pramudya Ananta Tur</b></span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Awal tahun 1963, dunia sastra kita digemparkan oleh dua surat kabar Harian Ibukota: <i>Harian Rakyat</i> dan <i>Harian Bintang Timur</i>. Kedua koran milik Komunis ini menyiarkan di halaman pertama dengan berita <i>Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck hasil jiplakan oleh pengarang Hamka</i>. Ulasan berita itu dilansir oleh seorang penulis bernama Ki Panji Kusmin. Sedangkan di harian <i>Bintang Timur</i> dalam lembaran <i>Lentera</i>, juga memuat dan mengulas bagaimana Hamka mencuri karangan asli dari pengarang Alfonso Carr, pujangga Prancis. Lembaran <i>Lentera </i>ini diasuh oleh Pramudya Ananta Tur.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Berbulan-bulan
lamanva kedua koran komunis ini menyerang ayah dengan tulisan-tulisan
berbau fitnah, juga menyerang secara pribadi.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Aku lihat ayah tenang-tenang saja menghadapi segala hujatan dari Ki Panji Kusmin dan Pramudva Ananta Tur itu.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Penulis
waktu itu sekolah di SMAN IX merasakan tekanan batin juga. Guru Sastra
lndonesiaku seorang guru PGRI Vak Sentral begitu pula dengan guru
civicku dengan gaya mengejek selalu menanyakan kesehatan ayah dan tidak
lupa berkirim salam. Kupingku terasa panas bila kedua guruku itu
bertanya kepadaku. Begitu pula halnya dengan saudara-saudaraku yang
lain. Apalagi membaca kedua koran yang sengaja dikirim ke rumah secara
gratis.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">PKI
melakukan usaha kudeta tanggal 30 September 1965 namun gagal. Dalam
usaha kup itu 6 jenderal dan 1 perwira gugur dibunuh PKI. Akibat
kegagalan kup PKI itu, kedua guru SMA-ku itu diberhentikan sebagai guru
dan pegawai negeri, dan Pramudya Ananta Tur ditahan di Pulau Buru.
Bertahun-tahun kemudian Pramudya Ananta Tur dibebaskan, kemudian
melakukan kegiatan lagi. Ayah tidak pernah berhubungan dengan tokoh
Lekra yang tidak pernah bosan menyerang ayah di kedua koran Komunis itu.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Suatu
hari, ayah kedatangan sepasang tamu. Si perempuan orang pribumi, sedang
laki-lakinya seorang keturunan Cina. Kepada ayah si perempuan
memperkenalkan diri. Namanya Astuti, sedangkan si laki-laki bernama
Daniel Setiawan. Ayah agak terkejut ketika Astuti menyatakan bahwa dia
anak sulung Pramudya Ananta Tur. Astuti menemani Daniel menemui ayah
untuk masuk Islam sekaligus mempelajari agama Islam. Selama ini Daniel
non muslim. Pramudya tidak setuju anak perempuannya yang muslimah nikah
dengan laki-laki yang berbeda kultur dan beragama lain.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Hanya
sebentar ayah berfikir. Tanpa ada sedikitpun keraguan permohonan kedua
tamu itu dikabulkan oleh ayah. Daniel Setiawan calon menantu Pramudya
Ananta Tur langsung di-Islam-kan oleh ayah dengan menuntunnya membaca
dua kalimat syahadat. Ayah menganjurkan Daniel berkhitan dan
menjadwalkan untuk memulai belajar agama Islam kepada ayah.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Dalam
pertemuan dengan putri sulung Pramudya dan calon menantunya itu ayah
tidak ada sama sekali berbicara masalah Pramudya dengan ayah yang pernah
terjadi berselang lama waktu itu. Ayah betul-betul telah dihancurkan
nama baiknya oleh Pramudya Ananta Tur melalui corong Komunis di harian <i>Bintang Timur</i> dan <i>Harian Rakyat</i>.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Salah
seorang teman Pramudva bernama Dr. Hudaifah Kuddah menanyakan kepada
Pramudya alasan tokoh Lekra ini mengutus calon menantunya menemui Hamka.
Dengan serius Pram menjawab:</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">"Masalah
faham kami tetap berbeda. Saya ingin putri saya yang muslimah harus
bersuami dengan laki-laki seiman. Saya lebih mantap mengirim calon
menantu saya belajar agama Islam dan masuk Islam kepada Hamka. Dialah
seorang ulama yang terbaik."</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Menurut Dr. Hudaifah yang tertuang dalam majalah <i>Horison</i>,
Agustus 2006, secara tidak langsung tampaknva Pramudya Ananta Tur
dengan mengirim calon menantu ditemani anak perempuan seakan minta maaf
atas perilakunya memperlakukan ayah di <i>Harian Bintang Timur</i> dan <i>Harian Rakyat</i>.
Dan secara tidak langsung pula ayah memaafkan Pramudya Ananta Tur
dengan bersedia mengislamkan dan memberi pelajaran agama Islam kepada
sang calon menantu.</span></div>
<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Dalam
peristiwa ayah menghadapi ketiga tokoh yang penulis sampaikan dalam buku
ini, penulis sengaja tidak memberikan komentar dan menilai ayahku
Hamka. Penulis mernbebaskan kepada pernbaca yang budiman menilainya
sendiri. Penulis sebagai seorang anak ingin menghindar penilaian kepada
ayah secara subyektif. [voa-islam.com]</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">_________________________</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">1.
Diterbitkan pada bulan Oktober 2010 oleh UHAMKA PRESS, Tulisan ini
mengacu pada Cetakan II, Oktober 2011, di halaman 191-200, dengan ubahan
oleh editor pada sub judul untuk Mr. Moh Yamin dan Pramudya.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Sumber : http://www.voa-islam.com/news/upclose/2012/06/01/19330/jiwa-besar-buya-hamka-terhadap-lawan-politiknya/ </span></div>
</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17475964411119059766noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5822610504859449485.post-91125619639779022972012-07-10T09:58:00.002-07:002012-07-10T11:01:21.107-07:00Karya Buya Hamka<div style="background-color: white; border: 1px solid #ccc; height: 500px; overflow: auto; padding: 5px; width: 500px;">
Daftar karya<br /><br /> Kenang-Kenangan Hidup, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.<br /> Ayahku (Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangannya), Jakarta: Pustaka Wijaya, 1958.<br /> Khatib al-Ummah, 3 Jilid, Padang Panjang, 1925.<br /> Islam dan Adat, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.<br /> Kepentingan Melakukan Tabligh, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.<br /> Majalah Tentera, 4 nomor, Makassar, 1932.<br /> Majalah al-Mahdi, 9 nomor, Makassar, 1932.<br /> Bohong di Dunia, cet. 1, Medan: Cerdas, 1939.<br /> Agama dan Perempuan, Medan: Cerdas, 1939.<br /> Pedoman Mubaligh Islam, cet. 1, Medan: Bukhandel Islamiah, 1941.<br /> Majalah Semangat Islam, 1943.<br /> Majalah Menara, Padang Panjang, 1946.<br /> Hikmat Isra’ Mi’raj, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui).<br /> Negara Islam, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),<br /> Islam dan Demokrasi, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),<br /> Revolusi Fikiran, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),<br /> Dibandingkan Ombak Masyarakat, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),<br /> Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.<br /> Revolusi Agama, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.<br /> Sesudah Naskah Renville, 1947 (tempat dan penerbit tidak diketahui).<br /> Tinjauan Islam Ir. Soekarno, Tebing Tinggi, 1949.<br /> Pribadi, 1950 (tempat dan penerbit tidak diketahui).<br /> Falsafah Hidup, cet. 3, Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1950.<br /> Falsafah Ideologi Islam, Jakarta: Pustaka Wijaya, 1950.<br /> Urat Tunggang Pancasila, Jakarta: Keluarga, 1951.<br /> Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1952.<br /> K.H. A. Dahlan, Jakarta: Sinar Pujangga, 1952.<br /> Perkembangan Tashawwuf dari Abad ke Abad, cet. 3, Jakarta: Pustaka Islam, 1957.<br /> Pribadi, Jakarta: Bulan Bintang, 1959.<br /> Pandangan Hidup Muslim, Jakarta: Bulan Bintang, 1962.<br />
Lembaga Hidup, cet. 6, Jakarta: Jayamurni, 1962 (kemudian dicetak ulang
di Singapura oleh Pustaka Nasional dalam dua kali cetakan, pada tahun
1995 dan 1999).<br /> 1001 Tanya Jawab tentang Islam, Jakarta: CV. Hikmat, 1962.<br /> Cemburu, Jakarta: Firma Tekad, 1962.<br /> Angkatan Baru, Jakarta: Hikmat, 1962.<br /> Ekspansi Ideologi, Jakarta: Bulan Bintang, 1963.<br />
Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, Jakarta: Tintamas, 1965 (awalnya
merupakan naskah yang disampakannya pada orasi ilmiah sewaktu menerima
gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Mesir, pada 21
Januari 1958).<br /> Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Jakarta: Bulan Bintang, 1965.<br /> Lembaga Hikmat, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1966.<br /> Dari Lembah Cita-Cita, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.<br /> Hak-Hak Azasi Manusia Dipandang dari Segi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1968.<br /> Gerakan Pembaruan Agama (Islam) di Minangkabau, Padang: Minang Permai, 1969.<br /> Hubungan antara Agama dengan Negara menurut Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1970.<br /> Islam, Alim Ulama dan Pembangunan, Jakarta: Pusat dakwah Islam Indonesia, 1971.<br /> Islam dan Kebatinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1972.<br /> Mengembalikan Tasawuf ke Pangkalnya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.<br /> Beberapa Tantangan terhadap Umat Islam di Masa Kini, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.<br /> Kedudukan Perempuan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.<br /> Muhammadiyah di Minangkabau, Jakarta: Nurul Islam, 1974.<br /> Tanya Jawab Islam, Jilid I dan II cet. 2, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.<br /> Studi Islam, Aqidah, Syari’ah, Ibadah, Jakarta: Yayasan Nurul Iman, 1976.<br /> Perkembangan Kebatinan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1976.<br /> Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, cet. 8, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980.<br /> Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.<br /> Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.<br /> Lembaga Budi, cet. 7, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.<br /> Tasawuf Modern, cet. 9, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.<br /> Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian, Jakarta: Yayasan Idayu, 1983.<br /> Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.<br /> Iman dan Amal Shaleh, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.<br /> Renungan Tasawuf, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.<br /> Filsafat Ketuhanan, cet. 2, Surabaya: Karunia, 1985.<br /> Keadilan Sosial dalam Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1985.<br /> Tafsir al-Azhar, Juz I sampai Juz XXX, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.<br /> Prinsip-prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.<br /> Tuntunan Puasa, Tarawih, dan Idul Fitri, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1995.<br /> Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Jakarta: Tekad, 1963.<br /> Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.<br /> Mengembara di Lembah Nil, Jakarta: NV. Gapura, 1951.<br /> Di Tepi Sungai Dajlah, Jakarta: Tintamas, 1953.<br /> Mandi Cahaya di Tanah Suci, Jakarta: Tintamas, 1953.<br /> Empat Bulan di Amerika, 2 Jilid, Jakarta: Tintamas, 1954.<br /> Merantau ke Deli, cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1977 (ditulis pada tahun 1939).<br /> Si Sabariah (roman dalam bahasa Minangkabau), Padang Panjang: 1926.<br /> Laila Majnun, Jakarta: Balai Pustaka, 1932.<br /> Salahnya Sendiri, Medan: Cerdas, 1939.<br /> Keadilan Ilahi, Medan: Cerdas, 1940.<br /> Angkatan Baru, Medan: Cerdas, 1949.<br /> Cahaya Baru, Jakarta: Pustaka Nasional, 1950.<br /> Menunggu Beduk Berbunyi, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.<br /> Terusir, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.<br /> Di Dalam Lembah Kehidupan (kumpulan cerpen), Jakarta: Balai Pustaka, 1958.<br /> Di Bawah Lindungan Ka'bah, cet. 7, Jakarta: Balai Pustaka, 1957.<br /> Tuan Direktur, Jakarta: Jayamurni, 1961.<br /> Dijemput Mamaknya, cet. 3, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.<br /> Cermin Kehidupan, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.<br /> Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, cet. 13, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.<br /> Pembela Islam (Tarikh Sayyidina Abubakar Shiddiq), Medan: Pustaka Nasional, 1929.<br /> Ringkasan Tarikh Ummat Islam, Medan: Pustaka Nasional,1929.<br /> Sejarah Islam di Sumatera, Medan: Pustaka Nasional, 1950.<br /> Dari Perbendaharaan Lama, Medan: M. Arbi, 1963.<br /> Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, cet. 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.<br /> Sejarah Umat Islam, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.<br /> Sullam al-Wushul; Pengantar Ushul Fiqih (terjemahan karya Dr. H. Abdul Karim Amrullah), Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.<br /> Margaretta Gauthier (terjemahan karya Alexandre Dumas), cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.<br /><br /><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah" target="_blank">Sumber </a>
</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17475964411119059766noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5822610504859449485.post-71408150896806175452012-07-10T09:57:00.001-07:002012-07-10T10:44:09.581-07:00Buya Hamka<div style="background-color: white; border: 1px solid #ccc; height: 500px; overflow: auto; padding: 5px; width: 500px;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAFWM2brXAIyds_zAudWLmmJa59UEQDYcvOheB1mj5XCekUJtdk0W1j3shU9SHMI0xcFo3dGTAVBlcwd6Zt3IJHq_iqq1-NY9N85P_keljLFZIJo4auYsp16g0Pe2esigbCXDMRB5hn083/s1600/Buya-Hamka-5.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAFWM2brXAIyds_zAudWLmmJa59UEQDYcvOheB1mj5XCekUJtdk0W1j3shU9SHMI0xcFo3dGTAVBlcwd6Zt3IJHq_iqq1-NY9N85P_keljLFZIJo4auYsp16g0Pe2esigbCXDMRB5hn083/s1600/Buya-Hamka-5.jpg" /></a></div>
Haji Abdul Malik Karim Amrullah<br />Buya Hamka<br />Hamka2.jpg<br />Lahir 17 Februari 1908<br />Bendera Belanda Maninjau, Tanjung Raya, Agam, Hindia-Belanda<br />Meninggal 24 Juli 1981 (73 tahun)<br />Bendera Indonesia Jakarta, Indonesia<br />Kebangsaan Indonesia<br />Suku bangsa Minangkabau<br />Angkatan Pujangga Baru dan Balai Pustaka<br />Karya terkenal Di Bawah Lindungan Ka'bah<br />Tenggelamnya Kapal Van der Wijck<br /><br />Prof.
Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan
Hamka, yakni singkatan namanya, (lahir di Maninjau, Tanjung Raya,
Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta,
24 Juli 1981 pada umur 73 tahun)[1] adalah sastrawan Indonesia,
sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik.[2] Ia baru
dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia setelah dikeluarkannya
Keppres No. 113/TK/Tahun 2011 pada tanggal 9 November 2011.[3]<br /><br />Hamka
merupakan salah satu orang Indonesia yang paling banyak menulis dan
menerbitkan buku. Oleh karenanya ia dijuluki sebagai Hamzah Fansuri di
era modern.[4] Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan
untuk orang Minangkabau yang berasal dari kata abi atau abuya dalam
bahasa Arab yang berarti ayahku atau seseorang yang dihormati.<br /><br />Ayahnya
adalah Haji Abdul Karim bin Amrullah, pendiri Sumatera Thawalib di
Padang Panjang. Sementara ibunya adalah Siti Shafiyah Tanjung. Dalam
silsilah Minangkabau, ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku
ibunya.[5]<br />Daftar isi<br /><br />Kehidupan<br /><br />Hamka merupakan cucu
dari Tuanku Kisai,[6] mendapat pendidikan rendah pada usia 7 tahun di
Sekolah Dasar Maninjau selama dua tahun. Ketika usianya mencapai 10
tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ
Hamka kemudian mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab, salah satu
pelajaran yang paling disukainya.[7] Melalui sebuah perpustakaan yang
dimiliki oleh salah seorang gurunya, Engku Dt. Sinaro, bersama dengan
Engku Zainuddin, Hamka diizinkan untuk membaca buku-buku yang ada
diperpustakaan tersebut, baik buku agama maupun sastra.<br />Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka, bangunannya merupakan rumah tempat Hamka dilahirkan<br /><br />Hamka
mulai meninggalkan kampung halamannya untuk menuntut ilmu di Pulau
Jawa, sekaligus ingin mengunjungi kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan
Mansur yang tinggal di Pekalongan, Jawa Tengah. Untuk itu, Hamka
kemudian ditumpangkan dengan Marah Intan, seorang saudagar Minangkabau
yang hendak ke Yogyakarta. Sesampainya di Yogyakarta, ia tidak langsung
ke Pekalongan. Untuk sementara waktu, ia tinggal bersama adik ayahnya,
Ja’far Amrullah di kelurahan Ngampilan, Yogyakarta. Barulah pada tahun
1925, ia berangkat ke Pekalongan, dan tinggal selama enam bulan bersama
iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur.[7]<br /><br />Pada tahun 1927, Hamka
berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sekembalinya dari
Mekkah, dalam suatu rapat adat niniak mamak nagari Sungai Batang,
kabupaten Agam, Engku Datuk Rajo Endah Nan Tuo, memaklumkan Hamka dengan
gelar Datuk Indomo, yang merupakan gelar pusaka turun temurun dalam
suku Tanjung. Pada tahun 1950, Hamka kembali ke Mekkah untuk menunaikan
ibadah haji yang kedua kalinya.<br /><br />Pada tanggal 5 April 1929, Hamka
dinikahkan dengan Siti Raham binti Endah Sutan, yang merupakan anak dari
salah satu saudara laki-laki ibunya. Dari perkawinannya dengan Siti
Raham, ia dikaruniai 11 orang anak. Mereka antara lain Hisyam, Zaky,
Rusydi, Fakhri, Azizah, Irfan, Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif, dan
Syakib. Setelah istrinya meninggal dunia, satu setengah tahun kemudian,
tepatnya pada tahun 1973, ia menikah lagi dengan seorang perempuan
bernama Hj. Siti Khadijah. Menjelang akhir hayatnya ia mengangkat Jusuf
Hamka, seorang muallaf, peranakan Tionghoa-Indonesia sebagai anak.[8]<br />Karier<br /><br />Hamka
mula-mula bekerja sebagai guru agama di Padang Panjang pada tahun 1927.
Kemudian ia mendirikan cabang Muhammadiyah di Padang Panjang dan
mengetuai cabang Muhammadiyah tersebut pada tahun 1928. Pada tahun 1931,
ia diundang ke Bengkalis untuk kembali mendirikan cabang Muhammadiyah.
Dari sana ia melanjutkan perjalanan ke Bagansiapiapi, Labuhan Bilik,
Medan, dan Tebing Tinggi, sebagai mubaligh Muhammadiyah. Pada tahun 1932
ia dipercayai oleh pimpinan Muhammadiyah sebagai mubaligh ke Makassar,
Sulawesi Selatan.[9] Ketika di Makassar, sambil melaksanakan tugasnya
sebagai seorang mubaligh Muhammadiyah, ia memanfaatkan masa baktinya
dengan sebaik-baiknya, terutama dalam mengembangkan lebih jauh minat
sejarahnya. Ia mencoba melacak beberapa manuskrip sejarawan muslim
lokal. Bahkan ia menjadi peneliti pribumi pertama yang mengungkap secara
luas riwayat ulama besar Sulawesi Selatan, Syeikh Muhammad Yusuf
al-Makassari. Bukan itu saja, ketika di Makassar ia juga mencoba
menerbitkan majalah pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan.
Majalah tersebut diberi nama "al-Mahdi".[10]<br /><br />Pada tahun 1934,
Hamka meninggalkan Makassar dan kembali ke Padang Panjang, kemudian
berangkat ke Medan. Di Medan—bersama M. Yunan Nasution—ia mendapat
tawaran dari Haji Asbiran Ya'kub, dan Mohammad Rasami (mantan sekretaris
Muhammadiyah Bengkalis) untuk memimpin majalah mingguan Pedoman
Masyarakat.[7] Pada majalah ini untuk pertama kali ia memperkenalkan
nama pena Hamka,[11] melalui rubrik Tasawuf modern, tulisannya telah
mengikat hati para pembacanya, baik masyarakat awam maupun kaum
intelektual, untuk senantiasa menantikan dan membaca setiap terbitan
Pedoman Masyarakat. Pemikiran cerdas yang dituangkannya di Pedoman
Masyarakat merupakan alat yang sangat banyak menjadi tali penghubung
antara dirinya dengan kaum intelektual lainnya, seperti Natsir, Hatta,
Agus Salim, dan Muhammad Isa Anshary.<br /><br />Pada tahun 1945 Hamka
kembali ke Padang Panjang. Sesampainya di Padang Panjang, ia
dipercayakan untuk memimpin Kulliyatul Muballighin dan menyalurkan
kemampuan jurnalistiknya dengan menghasilkan beberapa karya tulis. Di
antaranya: Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi
Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, dan Dari Lembah Cita-Cita.
Pada tahun 1949, Hamka memutuskan untuk meninggalkan Padang Panjang
menuju Jakarta. Di Jakarta, ia menekuni dunia jurnalistik dengan menjadi
koresponden majalah Pemandangan dan Harian Merdeka. Pada tahun 1950,
setalah menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya, Hamka melakukan
kunjungan ke beberapa negara Arab. Di sana, ia dapat bertemu langsung
dengan Thaha Husein dan Fikri Abadah. Sepulangnya dari kunjungan
tersebut, ia mengarang beberapa buku roman. Di antaranya Mandi Cahaya di
Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Ia
kemudian mengarang karya otobiografinya, Kenang-Kenangan Hidup pada
tahun 1951,[12] dan pada tahun 1952 ia mengunjungi Amerika Serikat atas
undangan pemerintah setempat.[13]<br />Politik<br /><br />Hamka juga aktif di
kancah politik melalui Masyumi.[10] Pada Pemilu 1955, Hamka terpilih
menjadi anggota konstituante mewakili Jawa Tengah. Akan tetapi
pengangkatan tersebut ditolak karena merasa tempat tersebut tidak sesuai
baginya. Atas desakan kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur,
akhirnya Hamka menerima untuk diangkat menjadi anggota konstituante.
Sikapnya yang konsisten terhadap agama, menyebabkannya acapkali
berhadapan dengan berbagai rintangan, terutama terhadap beberapa
kebijakan pemerintah. Keteguhan sikapnya ini membuatnya dipenjarakan
oleh Soekarno dari tahun 1964 sampai 1966. Pada awalnya, Hamka
diasingkan ke Sukabumi, kemudian ke Puncak, Megamendung, dan terakhir
dirawat di rumah sakit Persahabatan Rawamangun, sebagai tawanan. Di
dalam penjara ia mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya
ilmiah terbesarnya.[14]<br /><br />Pada tahun 1977, Hamka dipilih sebagai
ketua umum Majelis Ulama Indonesia yang pertama. Semasa jabatannya,
Hamka mengeluarkan fatwa yang bersisi penolakan terhadap kebijakan
pemerintah yang akan memberlakukan RUU Perkawinan tahun 1973, dan
mengecam kebijakan diperbolehkannya merayakan Natal bersama umat
Nasrani. Meskipun pemerintah mendesaknya untuk menarik kembali fatwanya
tersebut dengan diiringi berbagai ancaman, Hamka tetap teguh dengan
pendiriannya.[15] Akan tetapi, pada tanggal 24 Juli 1981, Hamka
memutuskan untuk melepaskan jabatannya sebagai ketua umum Majelis Ulama
Indonesia, karena fatwanya yang tidak kunjung dipedulikan oleh
pemerintah Indonesia.[1]<br />Sastrawan<br /><br />Hamka juga merupakan
seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an,
Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas,
Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928,
ia menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, ia
menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga
pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan
Gema Islam.[16]<br /><br />Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai
bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan
politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang
tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur
Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa
al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti
karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William
James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan
Pierre Loti.<br /><br />Hamka juga banyak menghasilkan karya ilmiah Islam
dan karya lain seperti novel dan cerpen. Pada tahun 1928, Hamka menulis
buku romannya yang pertama dalam bahasa Minang dengan judul Si Sabariah.
Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang berbentuk roman,
sejarah, biografi dan otobiografi, sosial kemasyarakatan, pemikiran dan
pendidikan, teologi, tasawuf, tafsir, dan fiqih. Karya ilmiah
terbesarnya adalah Tafsir al-Azhar. Di antara novel-novelnya seperti
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan
Merantau ke Deli juga menjadi perhatian umum dan menjadi buku teks
sastra di Malaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan dan anugerah juga
ia terima, baik peringkat nasional maupun internasional.[16]<br /><br />Pada
tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari
Universitas al-Azhar, Cairo[5] atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama
Islam dengan menggunakan bahasa Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974,
kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas
Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor dari
Universitas Prof. Dr. Moestopo.[16]<br /><br />Hamka meninggal dunia pada 24
Juli 1981 dalam usia 73 tahun dan dikebumikan di Tanah Kusir, Jakarta
Selatan.[16] Jasanya tidak hanya diterima sebagai seorang tokoh ulama
dan sastrawan di negara kelahirannya, bahkan di negara negara
berpenduduk muslim di Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura,
Thailand Selatan, Brunei, Filipina Selatan, dan beberapa negara Arab.<br />
<br />
<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah" target="_blank">Sumber </a>
</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17475964411119059766noreply@blogger.com0